Kamis 27 Feb 2020 22:58 WIB

Saan: Putusan MK Jadi Alternatif dalam Revisi UU Pemilu

Anggota DPR mengatakan putusan MK jadi alternatif dalam revisi UU Pemilu.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Bayu Hermawan
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Saan Mustopa mengatakan pihaknya akan menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemilihan umum sebagai pilihan alternatif untuk melakukan revisi undang-undang Pemilu. Saan berharap revisi undang-undang bisa menghasilkan pemilu yang efisien tidak terlalu rumit.

"Terkait dengan UU pemilu dimana MK memberikan 6 alternatif yang itu bisa dijadikan sebagai sebuah pilihan ketika DPR membahas maupun merevisi terkait UU pemilu, jadi kita tinggal memilih mana yang paling memungkinkan," kata Saan di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Kamis (27/2).

Baca Juga

Politikus dari Partai Nasdem itu menegaskan, bagaimanapun caranya, pemilu diharapkan dapat melahirkan anggota-anggota legislatif yang berintegritas dan kredibel. Di samping itu, diharapkan pemilu menjadi efisien tidak terlalu rumit.

Meski MK memutuskan Pemilu Serentak tetap diberlakukan, Saan mengakui, berdasarkan pengalaman Pemilu Serentak 2019, tingkat kerumitan dalam pelaksanaan pemilu cukup tinggi. Pemilu serentak juga menghabiskan yang besar.

Menurut Saan, Fraksi Nasdem sebenarnya menginginkan pileg dan pilpres eksekutif dipisah. Pileg bisa dilaksanakan berbarengan antara DPR RI, DPD dan DPRD kabupaten provinsi serta eksekutif. Namun, pilihan yang diharapkan tersebut tidak ada dalam enam alternatif yang diberikan MK.

"Maka ada pilihan alternatif yang mungkin nanti jadi pertimbangkan terkait dua tahap yaitu pemilihan DPR DPD dan presiden, kedua Gubernur Bupati Wali kota, DPRD provinsi dan kabupaten kota. Mungkin itu pilihan yang paling bisa dipertimbangkan," ujar dia.

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait pemisahan pemilihan umum (pemilu) antara nasional (Pilpres, Pileg DPR dan DPD) dan lokal (kepala daerah dan DPRD). Permohonan perkara nomor 55/PUU-XVII/2019 itu terkait uji materi Undang-Undang tentang Pemilu dan UU tentang Pilkada.

"Amar putusan, mengadili dalam provisi menolak permohonan provisi pemohon dalam pokok permohonan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (26/2).

Dalam pertimbangannya, Anggota Majelis Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan, permohonan itu ditolak karena MK tak berwenang menentukan satu desain pemilu, bahkan berpotensi menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya. Sebab, putusan MK bersifat akhir dan mengikat.

MK juga menyebutkan enam alternatif beberapa model pemilu tanpa mengubah keserentakan pilpres, DPR, dan DPD. Diantaranya model pemilu yang telah dilaksanakan pada Pemilu 2019 lalu maupun pemilu dengan memisahkan pilpres, DPR, dan DPD dengan pemilihan kepala daerah dan DPRD.

Satu model yang disebutkan juga sebenarnya diajukan Perludem yakni pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, kemudian beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/wali kota.

"Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden," kata Saldi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement