REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberan tasan Korupsi (KPK), Artidjo Alkostar, mengungkapkan saat dirinya ditawari suap oleh seorang pengusaha saat menjabat hakim agung di Mahkamah Agung (MA). Menurut dia, si penyuap menyebut penyuapan itu sudah biasa di kalangan MA.
"Pak Artidjo, yang lain sudah. Lho, apa ini? Ya tampangnya sih pengusaha dari Surabaya," kata Artidjo di gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Senin lalu. Artijo memberikan materi dalam pelatihan penerapan modul antikorupsi terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa).
Artidjo mengatakan, dia langsung mengusir orang tersebut. "Detik ini Anda keluar. Kalau tidak, kursi Anda saya terjang atau saya suruh tangkap. Keluar dia," kata Artidjo.
Namun, pengusaha itu ternyata belum selesai menggoda Artidjo. Ia mencoba lagi menawarkan suap dengan menanyakan nomor rekening. "Tidak mempan. Sudah tahu saya begitu, saya dikirimi fotokopi cek. Pak Artidjo, nomor rekening berapa? ini untuk Pak Artidjo. Saya bilang dengan pedas, saya terhina dengan saudara itu."
Artidjo juga mengatakan, ia pernah ditawari suap terkait penanganan kasus terkenal saat itu. Namun, ia tak mau menyebut kasus tersebut. "Orang itu pengacaranya kenal sama saya karena saya dulu orang LBH (lembaga bantuan hukum). Bilang sama orang MA, tolong saya dipertemukan dengan Artidjo," ujar dia.
Tidak bisa dipertemukan, ungkap dia, orang tersebut kemudian mendatangi keponakan Artidjo di Situbondo, Jawa Timur. "Tidak bisa bertemu, lalu dia datang ke keponakan saya di Situbondo, bilanglah ke Pak Artidjo. Lho, tidak ada yang berani. Tidak ada orang yang berani berhubungan, takut semua sama Pak Artidjo," kata dia.
Artidjo dilantik bersama empat anggota Dewas KPK lainnya pada Jumat, 20 Desember 2020. Dewas merupakan lembaga baru di internal KPK dan menjadi kontroversi karena dianggap sebagai salah satu upaya pelemahan KPK dari dalam.
Sebelumnya, ia merupakan hakim agung periode 2000-2018. Selama menjadi hakim agung, Artidjo telah menangani 19.708 berkas perkara. Satu di antaranya adalah perkara korupsi mantan presiden Soeharto.
Artidjo merupakan sosok yang dikenal menakutkan bagi para koruptor. Sebab, ia tidak berkompromi terhadap para koruptor.
Para terpidana korupsi yang mengajukan banding menjadi korban Artidjo. Di antaranya, ia memperberat vonis mantan kader Demokrat, Angelina Sondakh, dari 4 tahun penjara menjadi 12 tahun. Artidjo juga memperberat hukuman mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dari 7 tahun menjadi 14 tahun.
Apa yang dilakukan Artidjo tersebut bertolak belakang dengan penanganan kasus banding di MA saat ini. Pada Desember 2019, MA telah mengurangi hukuman dua napi kasus korupsi. Pertama, MA mendiskon penjara mantan menteri sosial Idrus Marham dari lima tahun jadi dua tahun penjara.
Kedua, terhadap terpidana Samsu Umar Abdul Samiun, mantan bupati Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra). Penyuap mantan hakim konstitusi Akil Mukhtar tersebut dikorting masa penjaranya menjadi 3 tahun dari 3 tahun 9 bulan.
Saat dikonfirmasi soal itu, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, majelis MA menilai alasan Umar Samiun memberikan suap tetap sebagai tindakan melawan hukum. Namun, Majelis MA menilai perbuatan tersebut karena adanya pengaruh dari orang lain. Majelis MA juga menilai benar pengakuan Umar Samiun dalam PK-nya yang mengatakan baru mengetahui tujuan transfer tersebut kepada Akil Mukhtar.
"Yang memperdaya dirinya (Umar Samiun) mentransfer uang sekitar dua tahun kemudian (setelah perkara di MK).Atas alasan tersebut, permohonan PK dari pemohon beralasan untuk dikabulkan MA," ujar Andi pada Jumat, 12 Desember 2019. (antara, ed:ilham tirta)