REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) membatalkan pengumuman hasil kajian dan penelitian atas laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang peristiwa dugaan pelanggaran HAM Berat di Paniai, Papua 2014. Semula Kejakgung menjanjikan akan mengumumkan hasil kajiannya, pada Senin (24/2), namun jaksa peneliti di Direktorat HAM Kejakgung mengakui belum merampungkan kesimpulan.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kejakgung) Hari Setiyono mengatakan, enam jaksa peneliti Direktorat HAM masih memerlukan waktu melakukan pendalaman terkait laporan Komnas HAM. Terutama, kata dia, pendalaman syarat formal dan materil yang disampaikan Komnas HAM dalam laporannya.
“Berkas Paniai, terkonfirmasi sedang dilakukan penelitian ulang,” kata dia, di Kejakgung, Jakarta, Senin (24/2).
Hari menerangkan, berkas laporan Komnas HAM terkait dugaan pelanggaran HAM Berat di Paniai, diterima Kejakgung pada Jumat (14/2). Setelah menerima berkas tersebut, tim peneliti di Direktorat HAM sudah melakukan kajian dan penelitian awal atas laporan tersebut.
Pada Kamis (20/2), dan Jumat (21/2), semula tim penyidik Direktorat HAM, sudah pada rapat untuk mengambil kesimpulan apakah akan melanjutkan berkas Komnas HAM ke tingkat penyidikan, atau mengembalikan untuk dilengkapi ulang. Direktur HAM Kejakgung, kata Hari, pun menjanjikan untuk mengumumkan kesimpulan tersebut, pada Senin (24/2).
Akan tetapi, Hari melanjutkan, jaksa yang meneliti kajian tersebut, merasa kurangnya pendalaman. Terutama, kata dia dalam aspek formil dan materil. “Materilnya, terkait dengan isi berkas yang disampaikan Komnas HAM,” terang Hari.
Menurut dia, jaksa peneliti, membutuhkan alat bukti yang didinginkan dalam laporan Komnas HAM, untuk menguatkan dugaan pelanggaran HAM Berat tersebut. “Misalnya, apakah pelaku yang disangka melakukan pelanggaran HAM Berat itu, sudah cukup buktinya,” terang Hari.
Bukti-bukti tersebut, kata Hari, termasuk keterangan saksi, dan ahli, serta keterangan para terkait peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran HAM berat. Adapun, pada sisi materil, kata Hari, jaksa peneliti, juga membutuhkan defenisi yang terang dari yang disangkakan oleh Komnas HAM.
“Misalnya, apakah yang terbunuh empat orang itu, dibunuh secara biasa, atau masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat,” ujar Hari.
Jaksa peneliti, kata Hari, memerlukan pendalaman terkait itu. Karena menurut dia, jika tim pengkaji melihat hilangnya nyawa dalam peristiwa Paniai dalam laporan Komnas HAM sebagai aksi pembunuhan biasa, maka tak semestinya penyidikan mengarah pada penuntutan ke peradilan HAM Adhoc.
“Untuk itu, ternyata tim jaksa penelti, masih memerlukan waktu untuk kiranya melakukan pengkajian lebih lanjut atas laporan Komnas HAM,” sambung Hari.
Hari pun menambahkan, selama pendalaman kajian tersebut, Kejakgung tak terikat tenggat waktu untuk menghasilkan kesimpulan. Yang pasti, kata Hari, hasil penelitian Direktorat HAM atas laporan Komnas HAM, memungkinkan untuk melanjutkan ke tingkat penyidikan. Atau, pengembalian berkas Komnas HAM, untuk kembali dilakukan penyelidikan yang lebih lengkap.
“Jadi, waktunya diusahakan untuk dilakukan pengkajian dan pendalaman secepatnya,” kata Hari melanjutkan.
Dihubungi terpisah, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, laporan pelanggaran HAM berat peristiwa Paniai ke Kejakgung, merupakan prosedur umum penyelidikan HAM sebelum ke tingkat penyidikan dan penuntutan. Menurut dia, kewenangan Komnas HAM hanya sebatas menyampaikan hasil penyelidikan terkait terjadinya pelanggaran HAM dalam peristiwa Paniai 2014.
“Komnas HAM menunggu keputusan Kejaksaan Agung, apakah akan menindaklanjuti laporan tersebut, atau tidak,” terang dia Ahmad Taufan, Senin (24/2).
Pun Ketua Tim Pelaporan Komnas HAM Muhammad Choirul Anam, menghendaki agar Kejakgung menindaklanjuti laporan tersebut, ke ranah penyidikan dan penuntutan di pengadilan HAM Adhoc. “Memang kita belum menerima (hasil kajian Kejakgung). Biasanya itu akan disampaikan resmi,” terang Choirul menambahkan.
Peristiwa Paniai, merupakan insiden kekerasan yang terjadi antara aparat dan warga sipil di Papua, pada 7 dan 8 Desember 2014. Peristiwa tersebut, berawal dari aksi protes yang dibubarkan paksa oleh militer.
Empat orang meninggal dunia di tempat akibat peluru tajam, saat insiden tersebut. Satu orang lainnya meninggal saat di rumah sakit. Pada 11 Februari 2020, Komnas HAM merampungkan penyelidikan terkait insiden tersebut, dan menebalkan peristiwa Paniai, sebagai pelanggaran HAM Berat.