Senin 24 Feb 2020 18:36 WIB

Pemerintah Mulai Identifikasi Anak-Anak WNI Eks ISIS

Pemerintah telah memutuskan akan memulangkan anak eks ISIS usia 10 tahun ke bawah.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Yudha Manggala P Putra
Menko Polhukam Mahfud MD (kiri) didampingi Mendagri Tito Karnavian (kanan) memberikan keterangan pers usai mengadakan pertemuan di Jakarta, Selasa (4/2/2020).
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Menko Polhukam Mahfud MD (kiri) didampingi Mendagri Tito Karnavian (kanan) memberikan keterangan pers usai mengadakan pertemuan di Jakarta, Selasa (4/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah memutuskan akan memulangkan anak-anak eks ISIS berusia 10 tahun ke bawah dan yatim-piatu. Kini, pemerintah baru memulai melakukan pengidentifikasian terhadap anak-anak yang memenuhi kriteria tersebut.

"Kita sekarang pada tahap permulaan mengidentifikasi kalau-kalau ada anak yang berada berumur di bawah 10 tahun (dan yatim-piatu). Itu akan dilakukan bagaimana penjemputannya, bagaimana pembinaannya. Itu akan terus dikoordinasikan," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (24/2).

Di samping itu, pemerintah sudah berhasil mengidentifikasi sejumlah warga negara Indonesia (WNI) eks kombatan ISIS yang berusia dewasa. Data mereka sudah mulai diserahkan ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk dilakukan pemblokiran paspor.

"Mereka yang sudah teridentifikasi dengan nama, alamat asal, sekarang ada di mana, sejak kapan bergabung dengan ISIS, itu sekarang sudah mulai disetor ke Kemenkumham untuk paspornya diblokir," jelas dia.

Mahfud menjelaskan, pemblokiran terhadap paspor para eks kombatan ISIS dilakukan agar mereka tidak bisa kembali masuk ke Indonesia. Langkah tersebut diambil untuk para eks ISIS yang berusia dewasa. "Sehingga nanti tidak bisa masuk lagi ke Indonesia," katanya.

Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan untuk tidak memulangkan WNI eks kombatan ISIS dan akan mencabut status kewarganegaraan mereka. Mahfud menjelaskan, pencabutan kewarganegaraan melalui proses hukum administrasi diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2007.

"Menurut PP Nomor 2 tahun 2007, pencabutan itu dilakukan oleh Presiden harus melalui proses hukum, bukan pengadilan ya. Proses hukum administrasi diteliti oleh menteri, lalu ditetapkan oleh presiden," jelas Mahfud di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (13/2).

Mahfud menerangkan, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 12 tahun 2006, orang dapat kehilangan status kewarganegaraannya dengan beberapa alasan. Salah satu di antaranya, yakni orang tersebut ikut dalam kegiatan tentara asing yang diatur pada pasal 23 ayat 1 butir d.

"Jadi jangan mempertentangkan saya dengan Pak Moeldoko. Pak Moeldoko benar, (para eks ISIS) kehilangan status kewarganegaraan secara otomatis," kata dia.

Menurut Mahfud, pencabutan kewarganegaraan mereka yang pernah tergabung dalam ISIS memang harus melalui proses hukum, tapi bukan proses pengadilan. Dalam hal ini, pencabutan kewarganegaraan terhadap mereka dilakukan melalui hukum administrasi yang diatur pada Pasal 32 dan 33 PP Nomor 2 tahun 2007.

"Di pasal 32, 33, bahwa itu nanti menteri memeriksa ya, sesudah oke, serahkan presiden, presiden mengeluarkan. Itu proses hukum namanya proses hukum administasi, jadi bukan proses pengadilan," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement