Senin 24 Feb 2020 14:26 WIB

Mahfud: Dulu Politik Uang di DPRD, Kini di Pimpinan Partai

Meski pemilihan kepala daerah tak di DPRD, praktik politik uang tak berhenti.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud MD
Foto: Abdan Syakura
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud MD

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, penyelesaian praktik politik uang dalam pemilihan kepala daerah pascareformasi tak menunju ke arah yang semakin baik. Praktik politik uang masih terus terjadi, hanya beda caranya saja.

"Apakah keadaan lebih baik? Tidak. Kalau dulu money politic dalam pemilihan kepala daerah itu ada di DPRD, sekarang berpindah ke pimpinan partai," ungkap Mahfud di Hotel Grand Paragon, Jakarta Barat, Senin (24/2).

Baca Juga

Ia menceritakan, Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 yang dibentuk pada awal reformasi menyebutkan, DPRD merupakan lembaga legislatif yang kedudukannya sejajar dengan kepala daerah. Karena itu, DPRD bisa memilih dan meminta pertanggungjawaban kepala daerah atau menjatuhkan kepala daerah di tengah jalan kepemimpinannya.

"Tapi demokrasi kemudian dianggap kebablasan. Karena kemudian dalam praktiknya, karena ketua atau kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka pada awal-awal reformasi itu setiap ada kepala daerah mulai muncul money politic," kata dia.

Dulu, kata Mahfud, politik uang terjadi di mana-mana melalui DPRD. Ia memberikan beberapa contoh kasus, salah satunya, ada di daerah Riau yang kepala daerahnya dijatuhkan dengan alasan laporan pertanggungjawabannya ditolak DPRD.

"Alasannya tidak memenuhi syarat. Tapi (waktu itu) isu yang berkembang karena tidak menyetor uang kepada DPRD," tuturnya.

Setelah itu, menurut dia, pemerintah dan rakyat setuju untuk mengubah UU tersebut dan mengembalikan DPRD menjadi bagian dari pemerintah daerah. Pada 2004, lahirlah UU Nomor 32 tahun 2004 yang tidak memperbolehkan DPRD memilih kepala daerah untuk mencegah terjadinya praktik politik uang.

"Itu terjadi tahun 2004. Karena kemarahan politik kita terhadap DPRD yang kebablasan di berbagai daerah sehingga pada era itu banyak anggota DPRD yang masuk penjara. Ada yang sampai sekarang akibatnya masih ada di penjara," jelas dia.

Tapi, ternyata praktik politik uang tidak juga berhenti. Para calon kepala daerah tidak membayar ke DPRD lagi, tetapi membayar mahar politik ke partai politik. Memang hal itu tidak diakui, tetapi ada pihak yang kalah dan melapor telah membayar mahar politik ke pimpinan partai untuk maju sebagai calon kepala daerah.

"Inilah uji coba politik kita. Kita harus bersabar. Ketika DPRD tidak diberi kekuasaan seperti saat orde baru, sangat buruk demokrasinya. Ketika diberi kekusaan menjadi kebablasan, ketika diturunkan lagi buruk lagi. Mari kita sekarang mencari keseimbangan baru. Politik itu begitu, mencari keseimbangan baru," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement