Kamis 20 Feb 2020 21:04 WIB

NasDem Pandang RUU Ketahanan Keluarga tidak Diperlukan

RUU Ketahanan Keluarga dinilai terlalu tendensius.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga menjadi sorotan publik karena dianggap mengatur ranah privat keluarga.
Foto: Pixabay
Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga menjadi sorotan publik karena dianggap mengatur ranah privat keluarga.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai NasDem Lestari Mordijat menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketahanan Keluarga tidak perlu ada. Alasannya RUU ini terlalu mengintervensi keluarga.

"RUU Ketahanan Keluarga semestinya tidak tendensius, RUU itu mengabaikan HAM sekaligus melegitimasi posisi perempuan sebagai 'tiyang wingking' (subkoordinat)," kata Lestari Mordijat atau Rerie di Jakarta, Kamis (20/2).

Baca Juga

Dia mengatakan, perempuan bukan objek yang harus selalu diatur dan mengurus pekerjaan rumah. Karena di hadapan hukum, semua setara, tidak peduli laki-laki atau perempuan.

Rerie menjelaskan entitas keluarga tidak perlu diintervensi negara sehingga urusan internal keluarga, pola asuh anak dan peran anggota keluarga bukan wewenang pemerintah. Dia mencontohkan, dalam RUU itu pemerintah campur tangan dalam urusan internal keluarga seperti dalam Pasal 77 (1) berisi "Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memfasilitasi keluarga yang mengalami krisis keluarga karena tuntutan pekerjaan".

Rerie menilai masih banyak persoalan bangsa dan negara yang lebih mendesak untuk diatur. Sehingga persoalan privat tidak perlu diatur oleh negara.

Sebelumnya, lima anggota DPR mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga yaitu Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani (F-PKS), Ali Taher (F-PAN), Sodik Mudjahid (Fraksi Gerindra), dan Endang Maria Astuti (Fraksi Partai Golkar).

Ali Taher mengatakan usulannya terkait RUU tersebut disebabkan tingginya tingkat persoalan disharmonisasi keluarga di Indonesia. Anggota Fraksi PAN DPR RI itu menilai diperlukan UU agar persoalan ketahanan keluarga bisa menjadi alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial yang dihadapi dalam lingkup keluarga.

"Fakta sosial kita menunjukkan betapa rapuhnya kondisi objektif saat ini dalam dunia perkawinan. Tingkat perceraian rata-rata di tingkat kabupaten/kota tidak kurang dari 150-300 per bulan," kata Ali Taher di Jakarta, Kamis.

Dia mengatakan akibat perceraian tersebut menimbulkan persoalan pada hak asuh dan masa depan anak sehingga hal tersebut memerlukan perhatian. Ali Taher menjelaskan penyebab utama keretakan rumah tangga tersebut adalah persoalan ekonomi seperti banyak pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga berakibat akumulatif terhadap persoalan ekonomi keluarga.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement