Kamis 20 Feb 2020 14:18 WIB

RUU Ketahanan Keluarga Ditolak

RUU Ketahanan Keluarga dikritik karena terlalu menyentuh ranah privat.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga menjadi sorotan publik karena dianggap mengatur ranah privat keluarga.
Foto: Republika/Prayogi
Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga menjadi sorotan publik karena dianggap mengatur ranah privat keluarga.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Nawir Arsyad Akbar, Antara

Rencana pengajuan RUU Ketahanan Keluarga menjadi sorotan publik karena dianggap terlalu mengatur ranah privat keluarga. Sejumlah fraksi di DPR menyebut RUU tersebut sebatas baru dibahas perorangan belum menjadi keputusan fraksi.

Baca Juga

Ketua DPP Golkar Ace Hasan Syadzilly, Kamis (20/2), mengatakan sejak awal, Fraksi Partai Golkar tidak pernah mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga. RUU Ketahanan Keluarga itu disebut Ace sebagai usulan perseorangan, bukan usulan resmi Partai Golkar.

"Tidak pernah dalam rapat-rapat Fraksi Partai Golkar, baik di pada Poksi (kelompok Komisi) VIII maupun di Poksi Baleg, ada pembahasan usulan RUU Ketahanan Keluarga," ujar dia.

Golkar sendiri merasa kecolongan dengan adanya satu anggota fraksi Golkar Endang Maria, sebagai salah satu pengusung RUU Ketahanan Keluarga. Kemudian, Golkar pun menarik dukungan untuk RUU tersebut.

Bahkan, pengusul RUU Ketahanan Keluarga dari Fraksi Partai Golkar, Endang Maria, disebut belum membaca penuh draf RUU Ketahanan Keluarga yang diusulkannya bersama lima anggota DPR lainnya. Hal itu diketahui dari hasil klarifikasi fraksi Golkar

"Soal bahwa Ibu Endang Maria mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga itu, justru Bu Endangnya sendiri katanya belum membaca secara secara keseluruhan RUU Ketahanan Keluarga. Kami telah mengklarifikasi kepada Bu Endang soal RUU Ketahanan Keluarga itu," kata Ace.

Ketua Kelompok Fraksi Golkar di Badan Legislasi (Baleg)DPR RI, Nurul Arifin, mengaku fraksinya kecolongan ketika disebut Golkar turut mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga. "Kami dari FPG (Fraksi Partai Golkar) merasa kecolongan tentang adanya seorang anggota yang mengusung RUU ketahanan keluarga. Seharusnya yang bersangkutan berkonsultasi dan Presentasi kepada fraksi sebelum menjadi pengusung suatu RUU," kata Nurul, Kamis (20/2).

Nurul Arifin mengaku, dirinya di Baleg sudah berkeberatan sejak RUU tersebut dipresentasikan. Ia menilai, tidak seharusnya urusan domestik cara mengurus dan mengasuh anak diintervensi negara. Alasan tentang tanggung jawab negara terhadap Kesejahteraan dalam poin RUU Ketahanan Keluarga juga telah diatur negara.

"Kami menarik dukungan terhadap RUU Ketahanan keluarga ini," Nurul Arifin menegaskan.

Belum Tentu Disahkan

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga masih dalam tahap sinkronisasi. Nanti akan bisa dilihat apakah bisa dilanjutkan atau tidak, berdasarkan masukan masyarakat.

"RUU Ketahanan Keluarga adalah usulan perseorangan yang dimasukkan dalam Prolegnas 2020. Ini baru dalam sinkronisasi, nanti kita akan lihat apakah ini bisa dilanjutkan atau tidak, dan tentu kami akan menampung aspirasi dari masyarakat luas," kata Dasco.

Dia mengatakan DPR RI periode 2019-2024 sudah berjanji kepada publik bahwa segala sesuatu produk dari institusi tersebut dalam pembahasannya akan melibatkan komponen masyarakat. Menurut politikus Partai Gerindra itu, sudah banyak masukan dari masyarakat terkait RUU Ketahanan Keluarga sehingga jangan khawatir DPR menutup diri terhadap hal-hal yang membuat keresahan di masyarakat.

Anggota DPR RI Arsul Sani mengatakan, pasal-pasal yang berada dalam RUU Ketahanan Keluarga belum tentu disahkan. Sebab, sejumlah poinnya dinilai kontroversial di masyarakat. "Belum tentu juga kemudian menjadi usulan dari pengusul itu yang akan kemudian menjadi bunyi kalau UU disahkan," ujar Arsul.

Menurutnya, RUU Ketahanan Keluarga memang memuat sejumlah pasal kontroversial. Beberapa di antaranya seperti pasal yang mengatur kewajiban istri dan terkait penyimpangan seksual.

"Misal terkait dengan peran wanita, kewajiban istri, nah itulah yang saya kita pertemukan. Itu kan baru usulannya dari pengusul," ujar Arsul.

Karena itu, ia meminta semua pihak untuk menghormati diusulkannya RUU tersebut. DPR juga dipastikan akan mengkritisi pasal-pasal yang dinilai kontroversial dan meminta pendapat sejumlah lembaga atau LSM terkait.

"Paling penting itu tadi buat saya ruang konsultasi, ruang partisipasi publik harus dibuka sebab kalau kita bicara aspirasi," ujar Arsul.

Ketua DPR RI Puan Maharani menilai RUU Ketahanan Keluarga yang diusulkan oleh sejumlah anggota DPR RI terlalu menyentuh ranah privat. Ia pun berharap RUU itu harus menyerap seluruh masukan dari berbagai pihak.

"Sepintas saya membaca drafnya itu, saya merasa bahwa ini ranah privat rumah tangga terlalu dimasuki, terlalu diintervensi," katanya di Jakarta Pusat, Rabu (19/2).

Puan mengatakan, dalam prosesnya nanti, RUU tersebut harus menerima masukan dari berbagai unsur, baik agama maupun budaya. Ia mengatakan, Indonesia dengan pluralitas budayanya tak bisa dipukul rata dalam hal yang terkait internal keluarga.

"Jadi mungkin sebagai contoh tentu saja pendekatan budaya dan agama di Aceh akan sangat berbeda denfan pendekatan budaya yang terjadi di Jawa misalnya. Kalau itu disamaratakan akan menjadi sangat bahaya khususnya mohon maaf bagi perempuan-perempuan, ibu-ibu," ujar politikus PDI Perjuangan itu.

Puan berharap RUU ini nantinya tidak lantas membatasi ruang gerak dan berkembang untuk perempuan. Puan juga berharap perempuan tetap bisa memiliki kesempatan yang sama dalam memaksimalkan kreativitas tanpa adanya sekat tertentu.

Terkait RUU Ketahanan Keluarga ini, Komisioner Komnas Perempuan Mariana Aminuddin menilai, tema keluarga sebenarnya bisa diatur dalam UU Perkawinan. "Karena yang disebut keluarga berangkat dr hubungan keluarga yaitu ayah ibu anak atau anggota keluarga lain," katanya.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PusaKo) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga merupakan sebuah keanehan. Sebab menurutnya, jika undang-undang itu berlaku negara sampai masuk ke ruang privat publik.

"Ruang itu jadi aneh kalau negara masuk. Negara bisa masuk dalam ruang yang merugikan publik, kalau negara masuk ke ruang privat itu kesalahan fatal dan tentu melanggar HAM," kata Feri Amsari.

Seharusnya, menurut dia pemerintah tidak perlu hadir bahkan mengatur secara teknis etika berinteraksi sosial bahkan masalah privat keluarga, sebaiknya fokus saja menyelesaikan persoalan yang lebih besar, berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Solusi Masalah Keluarga

Lima anggota DPR RI dari sejumlah fraksi Partai Politik mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga di DPR. RUU tersebut memuat sejumlah pasal kontroversial mengenai penyimpangan seksual hingga larangan donor dan jual beli sperma, hingga pidana yang mengatur tindakan tersebut.

Salah satu pengusul RUU Ketahanan Keluarga, Ali Taher Parasong, mengatakan usulannya terkait RUU tersebut disebabkan tingginya tingkat persoalan disharmonisasi keluarga di Indonesia. Anggota Fraksi PAN DPR RI itu menilai diperlukan UU agar persoalan ketahanan keluarga bisa menjadi alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial yang dihadapi dalam lingkup keluarga.

"Fakta sosial kita menunjukkan betapa rapuhnya kondisi objektif saat ini dalam dunia perkawinan. Tingkat perceraian rata-rata di tingkat kabupaten/kota tidak kurang dari 150-300 per bulan," kata Ali Taher.

Dia menilai negara tidak mengatur dalam perspektif hubungan keluarga konteks privat. Namun akibat dari permasalahan yang dihadapi dalam konteks kekerasan maka perlu diselesaikan.

Menurut dia, dalam menilai RUU Ketahanan Keluarga itu perlu dilihat secara jernih, jangan dinilai RUU tersebut memberi warna hukum Islam atau meniadakan UU lain. "Faktanya ada kekerasan rumah tangga terkait dengan perilaku seksual baik itu rumah tangga maupun anak-anak," ujarnya.

Pengusul lain RUU Ketahanan Keluarga, anggota DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Netty Prasetiyani menjelaskan alasan diusulkannya RUU tersebut. Pertama, ia menyadari bahwa keluarga merupakan batu bara dalam gerbong peradaban Indonesia. Jadi ia ingin keluarga-keluarga di Indonesia masuk dalam kategori ideal.

"Maka negara harus memberikan akses agar keluarga-keluarga ini dalam berbagai stratanya, dalam berbagai matranya, bisa memiliki ketangguhan," ujar Netty.

Ia pun merujuk data dari BKKBN pada 2015. Sebanyak 51,7 persen kepala keluarga di Indonesia itu lulusan sekolah dasar (SD). Netty merasa heran dengan pola seperti apa keluarga tersebut dibangun, jika kepala keluarga hanya lulusan SD.

"Kita ingin negara memastikan bahwa keluarga manapun dalam situasi apapun bisa bertahan hidup. Seperti itu, itu filosofinya," ujar Netty.

Dengan begitu, kata Netty, keluarga akan memiliki imunitas dan ketahanan. Sehingga RUU ini diklaimnya tak mengintervensi kehidupan suatu keluarga.

"Bukan (intervensi), justru kita ingin setiap keluarga memiliki imunitas, memiliki ketahanan sesuai dengan situasi keluarganya masing-masing," ujar Netty.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement