Selasa 18 Feb 2020 20:57 WIB

LBH: Denda Rp 2 M di Omnibus Law Bisa Bunuh Perusahaan Pers

LBH Pers menolak aturan kenaikan denda bagi pers yang diatur Omnibus Law Cipta Kerja.

Rep: Ali Mansur/ Red: Andri Saubani
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menggelar konferensi pers terkait RUU Omnisbus Law Cilaka yang menyasar dunia pers, di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).
Foto: Republika/Ali Mansur
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menggelar konferensi pers terkait RUU Omnisbus Law Cilaka yang menyasar dunia pers, di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain memberikan peluang kepada pemerintah untuk kembali mengatur dunia pers, Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga menaikkan denda perusahan pers. Tidak tanggung-tanggung, jika melanggar insan maupun perusahaan pers harus merogoh kocek dalam-dalam hingga Rp 2 miliar. Padahal dalam Undang-undang Pers, maksimal denda yang dikenakan itu Rp 500 juta.

"Menolak dinaikkannya sanksi denda bagi perusahaan pers. Dalam usulannya, pemerintah mengajukan revisi soal sanksi denda bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13, menjadi paling banyak Rp 2 miliar-naik dari sebelumnya Rp 500 juta," keluh anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Gading Yonggar Ditya di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).

Baca Juga

Gading menjelaskan, Pasal 5 ayat 1 mengatur tentang pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pasal 5 ayat 2 berisi ketentuan soal pers wajib melayani hak jawab.

"Pasal 13 mengatur soal larangan pemuatan iklan yang antara lain merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat," jelasnya.

Sebelumnya pada Pasal 18 ayat 1 berbunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta."

Kemudian dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja diubah menjadi, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar."

Selanjutnya pada ayat 2 disebutkan, "Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500 juta." Di Omnibus Law berubah menjadi, "Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2 miliar."

Kemudian pada ayat 3 yang awalnya berbunyi, "Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana

denda paling banyak Rp 100 juta." Di Omnibus Law diubah menjadi, "Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif."

"Kami mempertanyakan urgensi menaikkan denda sampai lebih dari 400 persen, dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar. Secara prinsip kami setuju ada sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pers. Namun, sanksi itu hendaknya dengan semangat untuk mengoreksi atau mendidik," ujar Gading.

Bahkan, dengan jumlah sanksi denda yang sebesar itu, Gading menilai semangatnya lebih bernuansa balas dendam. Adanya sanksi sebesar itu juga bisa dijadikan alat baru untuk mengintimidasi pers. Oleh karena itu, pihaknya meminta usulan revisi pasal ini dicabut.

"Rp 2 miliar itu sangat besar, itu mau bunuh pers?" tanya Gading.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menyatakan, pemerintah terbuka untuk menerima kritikan dan masukan yang bersifat konstruktif dalam proses pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja antara pemerintah dan DPR.

"Jika ada masukan yang konstruktif mohon dapat segera disampaikan agar bisa didiskusikan secara lebih komprehensif pada saat pembahasan dan proses politik di DPR RI," ujar Johnny, Senin (17/2).

Karena itu, politikus Partai Nasdem itu mempersilakan pihak-pihak yang keberatan untuk memberikan masukan terhadap poin-poin yang dianggap merugikan kepentingan masyarakat. "Pemerintah menyiapkan RUU Cipta Kerja dengan maksud yang sangat baik bagi bangsa kita maka tentu akan terbuka untuk setiap diskusi yang konstruktif," ujar mantan Anggota Komisi IX DPR tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement