Selasa 18 Feb 2020 10:20 WIB

Istana Harus Buktikan Omnibus Law Bukan Bentuk Otoriter

Pemerintah harus mampu menjelaskan pasal-pasal yang jadi sorotan publik.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Indira Rezkisari
Ilustrasi Omnibus Law
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ilustrasi Omnibus Law

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik dari Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia Hendri Satrio merespons berbagai polemik yang muncul setelah Pemerintah menyerahkan draf Omnibus Law Rancangan Undang undang Cita Kerja ke DPR. Sejumlah pasal dinilai rancu dan tidak sedikit menguatkan kesan adanya sikap otoriter Pemerintah.

Hendri meminta Pemerintah mampu menjelaskan pasal-pasal yang menjadi sorotan masyarakat. "Istana harus memperhatikan masukan-masukan publik dan yang paling penting dari sisi komunikasi itu disosialisasikan dan dikomunikasikan kepada publik hingga sejelas-jelasnya," ujar Hendri kepada wartawan, Selasa (18/2).

Baca Juga

"Jangan kemudian publik berpersepsi bahwa Omnibus Law ini adalah bentuk lain dari pemerintahan yang otoriter atau pengulangan orde baru," ujar Hendri lagi.

Ia mengatakan, Pemerintah juga harus membuktikan pernyataan bahwa RUU Omnibus Law dibuat untuk kepentingan rakyat Indonesia, baik untuk kemudahan berusaha, investasi maupun memangkas regulasi berbelit. Karena itu, ia meminta pembahasan RUU Cipta Kerja antara Pemerintah dan DPR dilakukan terbuka agar masyarakat bisa terus mengawal pasal-pasal di dalamnya.

Selain itu, Pemerintah juga harus melakukan sosialiasi kepada masyarakat dan menjelaskan poin-poin yang dinilai bermasalah. "Dibuka rancangannya secara terbuka kepada rakyat dan masyarakat, dibuktikan bahwa RUU Omnibus Law ini memang untuk kebaikan Indonesia, bukan untuk membentuk atau melanggengkan suatu pemerintahan otoriter karena semua bisa diterabas dengan Omnibus Law," ujarnya.

Draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi sorotan setelah adanya poin-poin pasal yang dinilai rancu. Salah satunya yang paling krusial adalah kewenangan Pemerintah mengubah UU.

Dalam draf rancangan UU Omnibus Law Cipta Kerja terdapat pasal 170 ayat (1) dalam Bab XIII yang menyebut pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan yang ada pada UU tersebut dan/atau mengubah ketentuan dalam UU yang tidak diubah dalam UU tersebut.

Kemudian, pada pasal 170 ayat (2) disebutkan, perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan PP. Pada ayat (3) dalam pasal yang sama dijelaskan, dalam rangka penetapan PP, pemerintah pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Namun oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, pasal tersebut disebut sebagai kesalahan dalam pengetikan. "Ya ndak bisa. Mana ada UU bisa diubah dengan Perpres, PP. Kalau ada muatan begitu di UU itu pasti salah," jelas Mahfud di Jakarta Selatan, Senin (17/2).

Ia menjelasan, Perpres terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja nantinya dapat dibuat untuk mengatur ketentuan lebih lanjut tentang UU tersebut. Namun, kata dia, jika ada muatan yang menyebut isi UU itu bisa diubah dengan Perpres atau PP maka hal tersebut merupakan kesalahan.

Menurutnya, kesalahan itu bisa diperbaiki dalam proses pembahasan ke depan. "Itu pasti salah dari ilmu perundang-undangan. Itu bisa diperbaiki dalam proses pembahasan ke depan dan pemerintah sudah mengumumkan itu terbuka. Malah bagus kalau banyak yang tanggapi," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement