REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konsep atau draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja memuat dua pasal, yakni pasal 18 dan 11 yang isinya merevisi UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Dua pasal tersebut menambah sanksi denda hingga empat kali lipat pada perusahaan media, dan menambah adanya sanksi administratif.
Pasal 18 di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang selama ini digunakan, pada ayat 1 menyatakan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Lalu, dalam UU dan pasal yang sama, ayat 2 menyatakan, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500 juta. Pasal 3 menyebut, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta.
Sedangkan perubahannya di draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja, ayat 1 berbunyi, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar.
Lalu ayat 2 menyatakan, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2 miliar. Bukan hanya itu, ayat ketiga yang termuat dalam draf RUU Cipta Kerja menambah sanksi administratif, yang sebelumnya tidak ada. Ayat itu berbunyi, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.
Adapun dalam ayat berikutnya, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Sementara, revisi dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja pada Pasal 11 sendiri berbunyi: "Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal".
Insan pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan LBH Pers mengkritik poin-poin tersebut. Mereka menilai, pemerintah seperti kembali ke masa orde baru yang ingin ikut campur di dalam 'dapur' pers.
Insan pers menilai, Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menjadi payung hukum kebebasan pers saat ini, dibentuk dengan semangat self regulatory dan tak ada campur tangan pemerintah di dalamnya.
"Kami mempertanyakan urgensi menaikkan denda sampai lebih dari 400 persen, dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar. Secara prinsip kami setuju ada sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pers. Namun, sanksi itu hendaknya dengan semangat untuk mengoreksi atau mendidik," demikian pernyataan Pers yang disampaikan Ketua AJI Abdul Manan.
"Dengan jumlah denda yang sebesar itu, kami menilai semangatnya lebih bernuansa balas dendam. Adanya sanksi sebesar itu juga bisa dijadikan alat baru untuk mengintimidasi pers. Oleh karena itu, kami meminta usulan revisi pasal ini dicabut," ketua Bidang Advokasi PWI Ochtap Riady menambahkan.