Rabu 12 Feb 2020 21:10 WIB

PKB Anggap Sikap Pemerintah Bersayap Sikapi WNI Eks ISIS

PKB menilai keputusan pemerintah tepat tetapi masih bersayap soal eks ISIS.

PKB menilai keputusan pemerintah tepat tetapi masih bersayap soal eks ISIS. Logo Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Foto: Republika
PKB menilai keputusan pemerintah tepat tetapi masih bersayap soal eks ISIS. Logo Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Partai Kebangkitan Bangsa menilai sikap pemerintah untuk tidak memulangkan kombatan ISIS eks WNI sudah tepat dan baik. Kendati begitu, Gus Yaqut menilai sikap pemerintah tersebut bersayap.    

”Apa yang dikatakan pemerintah dengan tidak akan memulangkan eks kombatan ISIS itu menurut saya bersayap. Ada satu pertanyaan, kalau pulang sendiri gimana atau difasilitasi yang lain itu bagaimana? Apa sikap pemerintah? Kemarin itu tidak dijelaskan,” ujar Ketua DPP PKB Bidang Pertahanan dan Keamanan, Yaqut Cholil Qoumas, di sela Diskusi Reboan bertajuk ”Kombatan ISIS Tidak Dipulangkan, What’s Next?” di Kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Rabu (12/2). 

Baca Juga

Menurut Ketua Umum GP Ansor itu, pemerintah seharusnya menjelaskan bahwa selain tidak memulangkan eks kombatan ISIS, apakah pemerintah juga akan menghalangi ketika mereka pulang baik secara sukarela atau atas fasilitasi organisasi atau kelompok lain. ”Ini tidak ada ketegasan dari pemerintah,” katanya. 

Selain itu, Gus Yaqut juga mempertanyakan soal penggunaan data jumlah eks kombatan ISIS yang mengacu pada data CIA. ”Mengapa pakai data CIA? Kayak kita ini enggak punya lembaga intelijen saja. Kita ini punya BIN, kita punya BAIS. Menko Polhukam ngomong berdasarkan data yang diberikan CIA ada sekian ratus WNI yang jadi kombatan ISIS. Itu kan menurut saya ini kayak menafikan lembaga intelijen yang kita punya,” kata anggota Komisi II DPR RI ini.  

Dia khawatir data yang disampaikan CIA bahwa ada sebanyak 689 WNI tergabung ISIS hanyalah data untuk permainan saja. ”Kita tahu lah, salah satu produsen terorisme kan Amerika. Jangan-jangan data ini data mainan saja? Ya kita nggak tahu karena ini yang ngomong CIA,” tuturnya.

Menurutnya, akan lebih kredibel jika pemerintah menggunakan data hasil penelusuran intelijen sendiri. ”Kalau saya ngomong ada 600-an, jangan-jangan kalau menurut BIN lebih dari itu, bagaimana coba?” katanya.  

Gus Yaqut mengatakan, dalam konteks ini pemerintah hanya mencoba ”memadamkan api”, namun tidak pernah mencari sumber apinya dimana sehingga upaya penanganannya selalu terlambat karena tidak ada upaya preventif yang serius. 

”Misalnya, pemerintah membatasi ruang gerak sumber ajaran radikal, yakni yang kita tahu adalah Wahabi dan Salafi. Ini tak diatasi. Kita bisa temui di BUMN-BUMN, misalnya, banyak pendakwah masih mengajarkan ajaran Salafi, Wahabi, ini sumber ajaran radikal. Ini tidak dilakukan dengan baik. Semestinya kan cari sebabnya, lalu diatasi,” tuturnya. 

Gus Yaqut berharap dalam upaya melakukan deradikalisasi agar melibatkan peran serta masyarakat. ”Jangan menganggap deradikaliasasi dalam frame project. Ini kan ancaman serius, bukan hanya project. Kalau tak melibatkan masyarakat maka kita wajib mencurigai pemerintah pakai frame project,” katanya.  

Sementara itu, Sekjen DPP PKB, Hasanuddin Wahid, mengatakan penanganan soal eks kombatan ISIS ini harus komprehensif dari hulu hingga hilir. Setelah mereka tidak dipulangkan, harus jelas apa langkah selanjutnya.  ”Harus ada penyelesaian menyeluruh. Ini persoalan hajat hidup rakyat Indonesia, bahkan dunia. Dan tak ada negara yang tak melihat ISIS ini sebagai sebuah persoalan,” katanya. 

Hasan mengatakan, pergerakan ISIS ini tak hanya perang di darat, tapi juga ada pergerakan di dunia maya yang sangat massif. ”Bahkan ISIS di dunia maya tujuh kali lipat lebih susah diatasi dibanding ISIS yang didarat. Kata mereka seperti Perang Salib,” katanya. 

Hasan mengatakan, masalah ISIS ini harus dilihat dari semua spektrum. Baik terkait keamanannya, ekonomi, sosial, politik, budaya, dan semuanya. 

Menurut dia, yang bahaya adalah klaim kebenaran berdasarkan pemahaman agama yang sempit. Sekarang terjadi pembakuan teks kitab keagamaan, tanpa melihat secara kontekstual. “Ini yang memunculkan gesekan dan kedangkalan. Bahasa pokoknya “harus”, padahal kebenaran itu harus dilihat kontekstual juga,” kata dia.  

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement