Rabu 05 Feb 2020 14:18 WIB

WNI Eks ISIS Disarankan Dicabut Dulu Kewarganegaraannya

WNI eks ISIS atau teroris lintas batas harus membuktikan dulu kesetiaannya.

Petugas menunjukkan barang bukti saat menggeledah sebuah rumah di Jl Jermal XII Gang Haji, Denai, Medan Denai, Medan, Rabu (7/6). Penggeledahan ini disebut terkait penangkapan si pemilik rumah yang diduga teroris berinisial RA terafiliasi ISIS. Rencana pemulangan WNI eks ISIS di luar negeri harus dilakukan dengan pertimbangan matang.
Foto: Republika/Issha Harruma
Petugas menunjukkan barang bukti saat menggeledah sebuah rumah di Jl Jermal XII Gang Haji, Denai, Medan Denai, Medan, Rabu (7/6). Penggeledahan ini disebut terkait penangkapan si pemilik rumah yang diduga teroris berinisial RA terafiliasi ISIS. Rencana pemulangan WNI eks ISIS di luar negeri harus dilakukan dengan pertimbangan matang.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid, Febrianto Adi Saputro, Antara

Rencana pemulangan ke Tanah Air ratusan WNI yang terafiliasi dengan ISIS atau terduga teroris lintas batas menjadi perhatian sejumlah pihak. Pasalnya muncul kekhawatiran para WNI tersebut belum hilang paham radikalnya saat kembali ke Indonesia.

Baca Juga

Ketua Umum Majelis Pengurus Pusat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menyarankan agar pemerintah terlebih dahulu mencabut kewarganegaraan warga negara Indonesia yang menjadi Foreign Terrorist Fighter (FTF) atau terduga teroris lintas batas dari Indonesia. Ini disampaikan Jimly berkaitan rencana pemulangan 660 WNI eks kombatan ISIS oleh Pemerintah.

Menurut Jimly, pencabutan kewarganegaraan dilakukan terlebih dahulu, sebelum WNI eks ISIS tersebut dipulangkan ke Indonesia. "Biar ada punishment (hukuman), kalau tidak, tidak ada efek jera, saya sarankan cabut dulu paspornya urusan belakangan dia ingin kembali lagi atau tidak," ujar Jimly kepada wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (5/2).

Jimly mengatakan, baru setelah dicabut kewarganegaraannya, WNI eks ISIS yang ingin kembali di Indonesia diseleksi kembali. Menurutnya, hanya WNI yang mau berkomitmen kepada NKRI yang diperbolehkan kembali dan kemudian dilakukan pembinaan.

"Ya diskrining apa dia mau ke warga negara Indonesia sesuai hukum apa tidak, kalau dia bersedia artinya ada kesadaran, dia mau jadi warga lagi dengan aturan-aturan konstitusional yang kita miliki, tidak boleh lagi dia ikut perang negara lain," ujar Jimly.

"Kalau dia tidak mau kembali ke Indonesia ya biarkan aja," ujarnya.

Jimly juga menyarankan agar WNI yang mau berkomitmen untuk menjalani tes khusus sebagai bukti komitmennya tidak mengkhianati NKRI. "Kalau dia ingin kembali lagi ada syarat-syaratnya termasuk tes, jadi bukan cuma selembar kertas tapi juga ada tes," ujar Anggota DPD RI tersebut.

Namun, tambah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu, penandatanganan pernyataan itu harus diikuti dengan pembinaan deradikalisasi yang ketat supaya ideologi radikal para eks simpatisan ISIS itu benar-benar pudar.

Pemerintah juga perlu memberikan efek jera bagi eks simpatisan ISIS itu dengan mencabut paspor dan status kewarganegaraan mereka dari Indonesia.

"Saya rasa perlu ada tes khusus. Untuk tindakan yang sifatnya mendidik, memang sebaiknya kalau terbukti mereka itu ikut perang untuk pasukan perang negara lain, itu sudah memenuhi syarat untuk dicabut paspornya," kata Jimly.

Setelah dicabut hak kewarganegaraannya, kata dia, eks simpatisan ISIS yang ingin kembali menjadi WNI bisa diberikan haknya dengan mengikuti berbagai tes dan pernyataan untuk setia kepada NKRI. "Cabut dulu paspornya. Nanti urusan belakangan kalau dia ingin kembali lagi," kata Jimly.

Penandatanganan pernyataan itu harus diikuti dengan pembinaan deradikalisasi yang ketat supaya ideologi radikal para eks simpatisan ISIS itu benar-benar pudar. "Saya rasa perlu ada tes khusus. Untuk tindakan yang sifatnya mendidik, memang sebaiknya kalau terbukti mereka itu ikut perang untuk pasukan perang negara lain, itu sudah memenuhi syarat untuk dicabut paspornya," kata Jimly.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mengatakan, ada beberapa tindakan yang membuat seseorang warga negara kehilangan kewarganegaraannya, seperti ikut dalam fungsi negara lain atau perang negara lain. Hal itu kata dia, tertuang dalam konstitusi Indonesia.

Namun demikian, Jimly mengembalikan ke Pemerintah untuk memutuskan kebijakan tersebut. "Hak asasi manusia kalau orang tidak punya paspor, tapi hak asasi juga di konstitusi dipastikan tidak boleh kita biarkan orang stateless, ini tidak mudah, dia ikut perang dengan negara lain, sudah ada aturannya, tidak boleh memang," katanya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan keputusan kepulangan WNI yang menjadi Foreign Terrorist Fighter (FTF) atau terduga teroris lintas-batas dari Indonesia akan dilakukan pada Mei atau Juni 2020. Pemerintah sedang mempertimbangkan apakah mereka dipulangkan atau tidak.

Mahfud menuturkan pemerintah telah mendata ada sekitar 660 WNI yang identitasnya dikenali dan tersebar di beberapa negara di Timur Tengah. Mereka semua merupakan eks simpatisan ISIS.

"Ada yang punya catatan sampai 1.100, tapi itu kiraan hanya karena bertemu dan bahasanya sama, tapi identitasnya ndak dikenal juga di mana-mana, di Suriah, di Turki, di Afghanistan, di mana-mana ada beberapa negara," ucapnya.

Anggota Komisi I DPR Fadli Zon mengomentari terkait rencana kepulangan WNI terafiliasi dengan terorisme seperti ISIS ke Indonesia. Ia menuturkan bahwa negara punya kewajiban untuk melindungi tiap warga negara.

"Harus ada usaha untuk kembalikan mereka kepada jalan yang benar sebagai warga negara dan harus difasilitasi. Jangan mereka diabaikan karena kita punya kewajiban konsititusional lindungi tiap warga negara Indonesia," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/2).

Menurutnya, bisa saja para WNI tersebut merupakan korban propaganda ISIS. Oleh karena itu, apabila ada WNI yang dianggap telah tersesat, maka  pemerintah dinilai perlu mengembalikan WNI tersebut ke Indonesia.

"Apalagi kalau mereka secara sukarela memang ingin kembali dan merasa apa yang mungkin diperjuangkan atau karena mereka korban bisa aja mereka trafficking ke sana atau dijanjikan hal-hal lain, atau disudutkan pada situasi seperti di daerah konflik. Ini harus dikembalikan ke jalan yang benar," ujarnya.

Direktur Deradikalisasi Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris, mengatakan belum ada keputusan pasti terkait pemulangan ratusan warga negara Indonesia (WNI) eks ISIS. Jika dipulangkan, sudah menjadi tugas BNPT untuk melakukan deradikalisasi.

"Tadi arahan Pak Kepala kita menunggu dulu (keputusannya seperti apa). Akan disampaikan nanti konkretnya," jelas Irfan, Senin (3/2) lalu.

Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana mengatakan ada dua hal yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah bila hendak menerima kembali WNI eks ISIS atau terduga teroris lintas batas. Pertimbangan ini tidak sekedar pemenuhan formalitas yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atau alasan kemanusiaan.

"Pertama adalah seberapa terpapar warga ISIS asal Indonesia dengan ideologi dan paham yang diyakini oleh ISIS," ujar Hikmahanto Juwana dalam keterangan tertulis.

Penilaian ini perlu dilakukan secara cermat per individu. Penilaian penting agar mereka justru tidak menyebarkan ideologi dan paham ISIS di Indonesia.

Kedua adalah seberapa bersedia masyarakat di Indonesia menerima kehadiran mereka kembali. Kesediaan masyarakat di sini tidak hanya dari pihak keluarga, namun pada masyarakat sekitar tempat mereka nantinya bermukim, termasuk pemerintah daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement