REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Deradikalisasi Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris, mengatakan, belum ada keputusan pasti terkait pemulangan ratusan warga negara Indonesia (WNI) eks ISIS. Jika dipulangkan, sudah menjadi tugas BNPT untuk melakukan deradikalisasi. "Tadi arahan Pak Kepala kita menunggu dulu (keputusannya seperti apa). Akan disampaikan nanti konkretnya," jelas Irfan kepada Republika.co.id, Senin (3/2).
Ia menjelaskan, proses deradikalisasi terhadap mereka memang menjadi tugas BNPT sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme. Menurut Irfan, di dalam peraturan tersebut sudah terurai lengkap apa saja yang dilakukan BNPT dalam melakukan deradikalisasi. "Deradikalisasi dalam lapas, luar lapas, yang pulang dari luar negeri, yang deportan, returnis. Semuanya ada," kata dia.
Di samping itu, Menteri Agama, Fachrul Razi, mengatakan pemerintah saat ini masih mengkaji kemungkinan memulangkan eks ISIS itu ke Indonesia. Pengkajian itu dilakukan oleh sejumlah instansi terkait di bawah Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
"Rencana pemulangan mereka itu belum diputuskan pemerintah dan masih dikaji secara cermat oleh berbagai instansi terkait di bawah koordinasi Menkopolhukam. Tentu ada banyak hal yang dipertimbangkan, baik dampak positif maupun negatifnya," ujar Menag dalam keterangan persnya, Sabtu (01/02).
Menurut Fachrul, pembahasan terus dilakukan dan terdapat sejumlah masukan dari berbagai pihak. Ia memberikan contoh BNPT yang menggarisbawahi pentingnya upaya pembinaan jika eks ISIS itu dipulangkan. Meskipun, kata dia, proses pembinaan itu bukan hal mudah karena mereka adalah orang-orang yang sudah terpapar oleh idealisme yang sangat radikal.
"Kita akan terus upayakan langkah terbaik, dengan menjalin sinergi semua elemen masyarakat. Tidak hanya pemerintah, tapi juga LSM dan ormas keagamaan," ujarnya.
Pemerintah Indonesia memang dihadapkan pada pilihan dalam menyikapi WNI yang menjadi teroris pelintas batas atau foreign terrorist fighter (FTF) di negara lain. Pengambilan sikap tersebut ditentukan paling lambat pertengahan tahun 2020.
"Jumlahnya kira-kira 660. Ini kan persoalannya sekarang, mereka ini ada yang minta pulang, ada yang menyuruh dipulangkan," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (21/1).
Mahfud mengatakan, berbagai negara memiliki banyak keinginan untuk menyikapi keberadaan WNI yang menjadi kombatan di negaranya. Menurut dia, ada yang ingin memulangkan anak-anak yatim saja, ada pula yang ingin memulangkan perempuan dan anak-anak saja.
"Ada yang mau memulangkan perempuan dan anak-anak, tapi FTF-nya, fighter-nya, itu tidak dipulangkan. Tapi negara yang menjadi tempat juga mempersoalkan gimana ada orang teroris pelintas batas di sini," tutur dia.
Pilihan-pilihan tersebut telah Mahfud diskusikan dengan beberapa pihak terkait melalui rapat koordinasi khusus di kantornya. Ia menjelaskan, pemerintah tengah menimbang untuk memulangkan mereka semua atau tidak.
Dari hasil diskusi, terdapat masalah jika memang para FTF itu dipulangkan ke Indonesia. Pilihan itu dihadapkan terhadap prinsip-prinsip dasar konstitusi yang menyatakan setiap waga negara punya hak untuk mendapat kewarganegaraan dan tak boleh berstatus tidak memiliki kewarganegaraan.
"Kalau mereka dipulangkan karena hak itu, itu juga bisa menjadi, ada yang khawatir bisa menjadi virus, virus teroris-teroris baru. Nah ini sedang dicari cara," katanya.