REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) menilai masih ada aset para tersangka kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang berada di luar negeri. Kejakgung menilai pelibatan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) dan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) sangat penting dalam mengungkap hal tersebut.
Direktur Penyidikan Pidana Khusus Kejakgung, Febri Adriansyah mengatakan sampai saat ini tim pelacak aset terus melakukan pendataan, untuk melakukan sita. Sebanyak 1.400 sertifikat tanah dan pembekuan 11 rekening bank milik lima tersangka, sudah dilakukan.
"Untuk pemblokiran rekening, itu di dalam negeri," ujar Febri saat ditemui di Kejakgung, Jakarta, Rabu (22/1).
Ketika ditanya tentang aset para tersangka yang berada di luar negeri, Febri mengatakan sedang dalam pelacakan. "Pasti ada aset di luar negeri. Pasti ada," ucapnya.
Febri melanjutkan, oleh karena itu Kejakgung tidak bisa sendiri dalam menangani kasus Jiwasraya. Ia mengatakan, pelibatan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), berperan penting dalam pengungkapan. Termasuk kata dia, kerjasama dengan sejumlah kementerian dan lembaga yang dapat mempercepat pelacakan, dan penyitaan aset, serta pembekuan sejumlah rekening.
"Kita fokus pada lima tersangka ini," katanya.
Meskipun, ia menegaskan, tak menutup kemungkinan kelanjutan penyidikan membuktikan adanya tersangka tambahan. Lima tersangka yang kini sudah dalam penahanan, yakni dua pebisnis saham, Benny Tjokrosaputro, dan Heru Hidayat. Sedangkan tiga lainnya, petinggi Jiwasraya, Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, dan Syahmirwan. Kejakgung menuduh kelimanya melakukan dugaan korupsi dalam pengelolaan dan investasi yang membuat Jiwasraya bangkrut. Jiwasraya, perusahaan asuransi milik negara di bawah kendali Kementerian BUMN.
Audit BPK menyebutkan, terjadi banyak penyimpangan dalam aksi korporasi perusahaan tersebut. Mulai dari manipulasi akutansi untuk membukukan laba semu, sampai pada dugaan korupsi pengalihan produk asuransi Saving Plan. BPK menebalkan, per September 2018 Jiwasraya mengalami gagal bayar sebesar Rp 13,7 triliun. Per November 2019, BPK mengatakan, Jiwasraya mengalami defisit keuangan mencapai Rp 27,2 triliun akibat dari dugaan korupsi dan penyimpangan di dalam manajemen.
Dugaan korupsi dan penyimpangan tersebut, dalam penelusuran Kejakgung. Pada Rabu (22/1), tim penyidik khusus kembali memeriksa sebanyak 14 orang saksi. Febri menerangkan, para saksi tersebut, sembilan di antaranya merupakan para bos dan karyawan sejumlah perusahaan pengelola saham. Sedangkan lima lainnya, saksi dari manajemen Jiwasraya. Kata dia, para saksi tersebut, diminta keterangan terkait dengan peran kelima tersangka dalam pengelolaan, dan penjualan produk asuransi Jiwasraya.
Terkait dengan pelacakan dan penyitaan aset, Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin mengatakan, sudah 1.400 sertifikat tanah yang berstatus sita selama pengungkapan Jiwasraya.
Sertifikat aset tak bergerak itu, milik kelima tersangka. Selain tanah, sejak Rabu (15/1), penyitaan aset milik para tersangka juga menyasar sejumlah kendaraan roda empat dan dua yang ditaksir berharga ratusan sampai miliaran rupiah.
Burhanudin mengatakan, Kejakgung belum melakukan penaksiran berapa nilai semetnara seluruh aset yang disita. Namun ia menjanjikan seluruh aset yang disita tersebut, dapat menjadi sumber pendanaan ganti rugi kerugian negara, dan uang nasabah Jiwasraya yang dirugikan.