REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Dian Fath Risalah
Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu sempat menunjukkan sebuah dokumen Surat Perintah Penyelidikan (Sprinlidik) dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada Selasa (14/1) malam. Salah satu panelis diskusi yang mempertanyakan adalah aktivis, Haris Azhar.
"Setahu saya itu harusnya rahasia, tapi kok bisa bocor, bisa dibawa ke ILC, ditunjukkan oleh Masinton," kata Haris dalam acara itu.
Dihubungi Republika, Kamis (16/1), Masinton mengaku sprinlidik itu ia dapatkan dari seseorang bernama Novel. Namun, tidak jelas siapa Novel yang dimaksud oleh Masinton.
"Itu sprinlidik, sprinlidik itu saya, ada yang menyerahkan ke saya dua hari yang lalu, nah itu diserahkan. Begitu sampai di ruangan, saya juga heran, kenapa kok sprinlidik itu bisa sampai ke saya," ujar Masinton saat ditemui di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Kamis (16/1).
Saat ditanya secara rinci, dari penyelidik atau institusi mana ia mendapatkan sprinlidik itu, Masinton tak menjawab secara rinci. Namun ia menyebut sebuah nama.
"Namanya Novel," kata Masinton.
Republika kemudian mencoba mengonfirmasi, apakah nama yang dimaksud Masinton adalah penyidik KPK, Novel Baswedan. Namun, Masinton mengklaim tidak tahu. Ia hanya kembali menyebut nama 'Novel'.
"Ya tidak tahu saya. Namanya Novel. Jadi dikasih ke saya, amplop, begitu saya sampai ke ruangan saya buka ternyata surat sprinlidik," ujar Masinton.
Saat dikonfirmasi ihwal kebocoran sprinlidik, Masinton tak memberikan bantahan. Namun, ia justru menyinggung media massa dalam negeri yang disebutnya kerap mendapat informasi dari internal KPK.
"Nah itu sprinlidik itu kan hal yang sampai ke saya. Coba tanya kalau kebocoran KPK ke pihak luar, coba tanyakan Tempo bagaimana cara mendapatkannya. Ada juga wartawan Tempo pernah kedapatan di dalam ruangan yang tidak bisa diakses oleh eksternal," ucap Masinton.
Pihak KPK mengaku tak tahu menahu ihwal asal usul sprinlidik yang ditunjukkan oleh Masintondalam acara ILC. KPK membantah telah membocorkan sprinlidik terkait kasus dugaan suap proses pergantian antarwaktu (PAW) caleg PDIP yang menjerat Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan.
"Bapak Masinton kemarin itu menunjukkan surat perintah penyelidikan, perlu kami tegaskan ketika KPK menjalankan tugas dibekali dengan surat tugas surat penyelidikan. Namun, tidak pernah diberikan kepada pihak manapun yang tidak berkepentingan langsung dalam proses-proses penyelidikan tersebut," ucap Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan, Ali Fikri di Gedung KPK Jakarta, Rabu (15/1) malam.
Ali pun mempertanyakan keaslian surat tersebut lantaran KPK tidak pernah mengedarkan sprinlidik ke pihak yang tidak berkepentingan langsung terkait penyelidikan. "Kemudian apakah itu asli atau tidak yang ditujukan oleh Pak Masinton tersebut. Jadi, secara substansinya seperti apa kita tidak tahu, namun secara pasti bahwa kami tidak pernah mengedarkan, kami tidak pernah memberikan surat penyelidikan surat tugas selain kepada pihak-pihak yang berkepentingan langsung terkait penyelidikan tersebut," tegas Ali.
Saat ditanyakan apakah ada dari pihak internal yang membocorkan sprinlidik, Ali langsung membantahnya. "Jadi, ini bukan mengenai apa bocor atau tidak bocor karena kami sendiri mempertanyakan apakah itu asli atau tidak secara substansinya. Apakah itu benar yang dipegang Pak Masinton adalah produk dari KPK, kami tidak tahu sehingga kami tidak akan arah ke sana karena kami meyakini tidak pernah memberikan surat penyelidikan kepada siapapun selain yang berkepentingan langsung," terangnya.
Ali menegaskan, KPK tak akan terpengaruh ataupun terganggu dengan polemik tersebut. KPK, kata Ali, akan terus bekerja menangani perkara korupsi, termasuk kasus dugaan suap proses PAW caleg PDIP.
"Ini bukan dalam konteks mengganggu tidak mengganggu karena ini proses penyelidikan pun sudah selesai. Kami kan sekarang fokus pada penyidikan yang sudah menetapkan empat orang tersangka. Teman-teman penyidik sedang bekerja. Kami yakini teman-teman penyidik bekerja sesuai aturan hukum, undang-undang. Kami jalankan sesuai mekanisme yang ada," ujar Ali.
Penyidik KPK, Novel Baswedan menyatakan tak pernah memberikan sprinlidik kepada Masinton. Novel pun mengaku tidak mengetahui nama 'Novel' yang dimaksud Masinton memberikan sprinlidik terkait kasus suap PAW pada dirinya.
Novel mengungkapkan, saat ini ia sedang berada Singapore General Hospital (SGH), Singapura. Ia berobat ke Singapura setelah pada Selasa (7/1) pekan lalu kembali merasakan sakit pada mata kirinya.
"Hari Selasa saya tidak ke kantor, hari Rabu (8/1) dan Kamis (9/1) saya berobat ke Rumah Sakit (RS) JEC (Jakarta Eye Center), Menteng," kata Novel saat dikonfirmasi Republika.co.id, Kamis (16/1).
Novel pun mengaku tidak mengerti siapa nama 'Novel' yang disebut Masinton. Namun, bila nama yang dimaksud adalah Novel Baswedan, Novel pun menjamin berita itu tidak benar.
"Jadi saya tidak tau dan tidak mengikuti kasus yang terkait dengan PDIP itu. Oleh karena itu terkait kata Masinton yang kalau menyebut dapat dari saya, itu pasti bohong," kata Novel Baswedan menegaskan.
Dalam sprinlidik tertanggal 20 Desember 2019 tersebut ditandatangani langsung oleh Ketua KPK saat itu Agus Rahardjo. Sprilindik itu dikeluarkan untuk melaksanakan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara di KPU terkait dengan penetapan anggota DPR RI terpilih 2019-2024.
KPK kemudian menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wahyu pekan lalu. Pada Kamis (9/1), KPK kemudian menetapak Wahyu Setiawan sebagai tersangka penerimaan suap terkait PAW anggota DPR RI periode 2019-2024. KPK juga turut menetapkan mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, caleg DPR dari PDIP, Harun Masiku serta seorang swasta bernama Saeful.
KPK menduga Wahyu bersama Agustiani Tio Fridelina diduga menerima suap dari Harun dan Saeful. Suap dengan total sebesar Rp 900 juta itu diduga diberikan kepada Wahyu agar Harun dapat ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR RI menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu.
Kasus Komisioner KPU