REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengaku akan mengevaluasi kebijakan di era Susi Pudjiastuti, yakni pembatasan operasional kapal ikan 150 gross tonnage (GT) dan kapal angkut 200 GT. Menurutnya, evaluasi dilakukan dengan tetap mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya laut. Kebijakan pembatasan kapal 150 GT ini dituding menjadi salah satu penyebab 'sepinya' kapal besar berbendera merah putih di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Perairan Natuna.
"Masalah utama pembatasam itu kan sustainable laut kita, keberadaan ikan kita. Presiden kita tidak setuju kalau kita kasih sebebasnya. Jadi diatur, laporannya jelas. Negara dapat mamfaat, nelayan kita hidup," ujar Edhy usai bertemu Presiden Joko Jokowi (Jokowi) di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (14/1).
Kebijakan pembatasan ruang gerak kapal ikan berukuran 150 GT dan kapal angkut 200 GT tertuang dalam Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) Nomor: D.1234/DJPT/PI.470. D4/31/12/2015 tentang Batasan Ukuran Kapal Ikan. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), mengutip data Kementerian Kelautan dan Perikanan, menyebut bahwa terdapat kekosongan kuota kapal sekitar 540 unit di ZEE WPP-RI 711 Natuna. Padahal dibutuhkan kapal berukuran di atas 100 GT untuk bisa beroperasi hingga ZEE.
"Evaluasi tentu kita lakukan. Sama tim. Kita akan uji publik ke lapangan, yang tidak setuju silakan kasih masukan. Para ahli saya kumpulkan jadi penasihat. Pelaku usaha juga jadi komisi pemangku kepentingan supaya mereka saling mendengar," kata Edhy.
Senada dengan Edhy, Kantor Staf Presiden (KSP) juga membuka peluang untuk mencabut aturan pembatasan ukuran kapal tangkap dan kapal angkut yang diizinkan beroperasi. Meski begitu, KSP belum memberi kepastian terkait adanya rencana revisi aturan ini. Pemerintah juga sedang merancang perbaikan koordinasi pengamanan laut yang akan dituangkan dalam omnibus law. Aturan ini akan memangkas pasal-pasal dalam 24 Undang-Undang (UU) dan 2 Peraturan Pemerintah (PP) yang dianggap saling tumpang tindih