REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Febrianto Adi Saputro
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto ikut terseret dalam pusaran kasus yang menjerat Komisioner KPU, Wahyu Setiawan. Sempat beredar informasi di kalangan wartawan, Hasto bahkan diincar oleh tim KPK pada Rabu (8/1).
Pada Rabu, beredar informasi bahwa tim penyidik KPK berupaya mengamankan Hasto yang tengah berada di Kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan. Namun, saat tiba di Kompleks PTIK, tim KPK justru diperiksa oleh polisi yang sedang bertugas di lokasi. Bahkan, tim KPK sempat menjalani tes urine.
Plt Jubir KPK Ali Fikri mengakui tim KPK pada Rabu (8/1) memang berada di PTIK. Namun, kata Ali, saat itu tim KPK hanya sekadar mampir di masjid sekitar untuk melaksanakan shalat.
"Hanya kesalahpahaman saja. Jadi memang saat itu petugas kami ada di sana untuk melaksanakan di masjid shalat. Kemudian di sana ada pengamanan sterilisasi tempat," kata Ali di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/1) malam.
Ali tak menampik jika tim KPK sempat ditahan dan diperiksa oleh petugas keamanan setempat. Bahkan, tim KPK juga sempat menjalani pemeriksaan urine.
"Oleh petugas di sana kemudian petugas sempat dicegat dan kemudian dicari identitasnya betul. Sampai kemudian diproses dan ditanya seterusnya kemudian sampai tes urine dan lain-lain seolah ada orang yang ingin berbuat. Tentunya ada kesalahpahaman di sana," terang Ali.
Wakil Ketua KPK Lili Pantauli Siregar pun membenarkan bahwa ada tim dari KPK yang sempat berada di PTIK. Namun, Lili belum bisa memastikan kedatangan tim tersebut apakah untuk menjemput Hasto di PTIK.
"(Di) PTIK itu memang tidak diketahui oleh teman-teman (Kepolisian). Bahwa ada petugas KPK di sana, karena kebetulan di sana ada acara, jadi bukan karena satu dua hal," ungkap Lili.
Meski demikian, Lili memastikan tim penyidik akan mendalami dan mengembangkan kasus dugaan suap yang menjerat Wahyu Setiawan. Tim akan memanggil dan memeriksa para pihak yang dinilai mengetahui kasus ini.
"Soal pemanggilan pihak-pihak terkait yang disebut, misalnya seperti Pak Hasto, ini kembali ke penyidikan. Tetapi mungkin tidak saja hanya kepada Hasto tetapi mungkin kepada pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan pengembangan perkara ini pasti juga ada panggilan-panggilan," kata Lili.
Nama Hasto ikut terseret lantaran beredarnya informasi, bahwa advokat, Doni yang ikut diamankan saat OTT pada Rabu bersama seorang swasta bernama Saeful merupakan staf Hasto. Keduanya pun merupakan kader PDIP.
Dalam konstruksi perkara suap ini, Doni yang berprofesi sebagai advokat diperintahkan oleh seorang pengurus PDIP untuk mengajukan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara. Pengajuan gugatan materi ini terkait dengan meninggalnya caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas pada Maret 2019.
Gugatan tersebut dikabulkan Mahkamah Agung (MA) dan menetapkan partai adalah penentu suara dan pengganti antar waktu (PAW) pada 19 Juli 2019. Penetapan MA ini kemudian menjadi dasar PDIP berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan Harun Masiku, sebagai pengganti caleg yang meninggal tersebut.
Pada 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Almarhum Nazarudin Kiemas. Dua pekan kemudian atau pada 13 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa MA dan pada 23 September mengirimkan surat berisi penetapan caleg.
Saeful kemudian menghubungi Agustiani dan melakukan lobi untuk mengabulkan Harun sebagai PAW. Selanjutnya, Agustiani mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari Saeful kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun dan Wahyu menyanggupi membantu dengan membalas, “Siap, mainkan!”
Lobi ini dilakukan lantaran Agustiani juga merupakan mantan caleg dari PDIP. Sementara, Wahyu memiliki kedekatan dengan organisasi mahasiswa yang terafiliasi dengan PDIP.
Dikonfirmasi hal tersebut, Lili masih enggan mengungkap pengurus yang menyuruh Doni untuk mengajukan gugatan ke MA. "Itu mungkin di proses penyidikan. Kalau itu saya tidak tahu persis soal keterangan apakah pak Hasto atau bukan. Karena kita fokusnya Komisioner KPU itu," katanya.
Dalam kasus ini, KPK kemudian menetapkan Wahyu Setiawan sebagai tersangka penerimaan suap terkait PAW anggota DPR RI periode 2019-2024. KPK juga turut menetapkan mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, caleg DPR dari PDIP, Harun Masiku, serta seorang swasta bernama Saeful.
Komisioner KPU Wahyu Setiawan memakai rompi oranye usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (10/1).
Respons Hasto
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto kemarin, menjawab tuduhan keterlibatan dirinya dalam kasus suap yang dilakukan kader PDIP, Harun Masiku terhadap Wahyu Setiawan. Hasto menyebut ada pihak yang sengaja mem-framing dirinya.
"Sebagai contoh ada pihak yang melakukan framing selolah-olah yang namanya Doni itu staf kesekjenan ditangkap. Saya mencari yang namanya Doni, staf saya ini namanya Doni, itu kan sebagai contoh framing," kata Hasto sembari menunjuk staf kesekjenannya yang bernama Doni, Jumat (9/1).
Kemudian ia juga menjawab terkait kabar yang menyebut, bahwa dirinya lari mencari perlindungan ke PTIK. Menurutnya hal itu juga salah satu bentuk framing.
"Teman-teman semua tahu ini rapat kerja nasional dan HUT partai memerlukan sebuah konsentrasi, kami persiapkan dengan matang sehingga hari-hari terakhir minggu-minggu terakhir bahkan bulan-bulan terakhir energi dan pikiran saya fokus di dalam pelaksanaan rakernas," ujarnya.
Tidak hanya itu, dirinya juga menilai ada yang pihak yang sengaja mem-framing dirinya menerima dana. Selain itu, ia juga mengungkapkan ada upaya yang menggiring opini publik seolah-olah dirinya menyalahgunakan kewenangan.
"Yang saya harapkan sebagai sekjen sebagaimana disampaikan ketua umum adalah berpikir, bertindak atas dasar ketentuan peraturan perundang-perundangan dan juga konstitusi partai, itu yang kami jalankan," ujar Hasto.
PDIP menyerahkan sepenuhnya proses hukum kepada KPK. Ia juga menegaskan PDIP tidak akan intervensi kasus tersebut.
"Jadi dalam konteks seperti ini (PDIP) menyerahkan sepenuhnya proses penegakan hukum tesebut tanpa intervensi."
Kasus Komisioner KPU