Rabu 08 Jan 2020 21:46 WIB

Uji Formil UU KPK, Pemohon Nilai Ada Penyelundupan Hukum

Sidang uji formil UU 19/2019 tentang KPK kembali digelar di MK.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Pemohon uji materi UU KPK Ismid Hadad (kiri) dan Erry Riyana Hardjapamekas (kanan) usai mengikuti uji materi di gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (8/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pemohon uji materi UU KPK Ismid Hadad (kiri) dan Erry Riyana Hardjapamekas (kanan) usai mengikuti uji materi di gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (8/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan uji formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diajukan oleh ketiga mantan pimpinan KPK, Agus Rahardjo dkk. Kuasa hukum pemohon, Muhammad Isnur mengatakan, terjadi penyelundupan hukum dalam proses perencanaan dan pembahasan kedua UU KPK itu.

"Pembentuk undang-undang lakukan penyelundupan hukum dalam proses perencanaan dan pembahasan perubahan kedua," ujar Isnur dalam persidangan di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (8/1).

Baca Juga

Isnur menuturkan, penyelundupan itu salah satunya karena pembahasan UU KPK itu tidak lebih dari 14 hari. Pembahasan di DPR RI-nya sendiri pun hanya lima hari dari 12-17 September 2019 lalu.

Ia juga menemukan fakta, pembentuk undang-undang yakni pemerintah dan DPR menggunakan naskah akademik fiktif dan tidak memenuhi syarat perencanaan perubahan UU KPK ini. "Kami menemukan fakta bahwa di halaman 1, dua naskah akademik tahun 2019, di halaman 3 sampai berikutnya semua menggunakan naskah akademik 2011," kata Isnur.

Tim advokasi pemohon lainnya, Violla Reininda mengatakan, dalam naskah akademik tidak sekali pun pembentuk UU mencantumkan dasar pembentukan daftar kumulatif terbuka ini berdasarkan putusan MK. Putusan MK yang dirujuk adalah Nomor 36 Tahun 2017 tentang pengujian UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) mengenai hak angket terhadap KPK.

"Secara gamblang disebutkan bahwa undang-undang disahkan berdasarkan judicial order dari Mahkamah Konstitusi dari Putusan Nomor 22 tahun 2017 sehingga di sini terjadi satu inkonsistensi yang dilakukan oleh DPR dan juga pemerintah," kata Violla.

Menurut dia, tidak hanya secara tiba-tiba memasukkan undang-undang tersebut dalam prioritas. Bahkan, sama sekali juga tidak membahas atau mencantumkan kajian tentang judicial order tersebut di dalam naskah akademik.

Selain itu, lanjut Violla, masih berkaitan dengan naskah akademik, berdasarkan analisisnya ada beberapa poin yang sama sekali tidak disebutkan dalam naskah akademik atau sama sekali tidak dibahas.

"Misalnya di halaman 46 poin nomor 135, tidak ada kajian soal KPK sebagai bagian rumpun kekuasaan eksekutif," kata dia.

Kemudian kajian mengenai Dewan Pengawas KPK, penghapusan aturan KPK dalam pembentukan perwakilan dari provinsi, penghapusan tim penasihat KPK, kajian tentang pegawai KPK sebagai pegawai ASN, serta usia minimal komisioner KPK. Hal itu tidak disebutkan sama sekali dalam pembahasannya di dalam naskah akademik.

"Padahal naskah akademik adalah salah satu hal yang vital dan juga penting untuk membuktikan pertanggungjawaban akademis dari setiap penyusunan UU," tutur Violla.

"Dan dari sini kami berkesimpulan bahwa ada suatu kepentingan-kepentingan politik tertentu sehingga perubahan UU KPK yang baru dapat digolkan dan kepentingan pragmatis ini sama sekali tidak bisa dijustifikasikan," lanjut dia.

photo
Revisi UU KPK

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement