Jumat 03 Jan 2020 07:58 WIB

Kerusakan Ekosistem Biang Keladi Banjir Jabodetabek

Pembangunan waduk dan normalisasi sungai dinilai mendesak.

Seorang warga melintasi banjir di kawasan Kampung Baru, Kembangan, Jakarta Barat, Kamis (2/1/2020).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Seorang warga melintasi banjir di kawasan Kampung Baru, Kembangan, Jakarta Barat, Kamis (2/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut banjir yang terjadi di wilayah Jabodetabek tak hanya terjadi akibat curah hujan yang deras. Bencana banjir juga disebabkan oleh kerusakan ekosistem dan perilaku masyarakat yang sering membuang sampah sembarangan.

"Karena ada yang disebabkan oleh kerusakan ekosistem, kerusakan ekologi yang ada, tapi juga ada yang memang karena kesalahan kita yang membuang sampah di mana-mana banyak hal," ujar Jokowi di Jakarta, Kamis (2/1).

Baca Juga

Jokowi pun menginstruksikan agar pemerintah pusat dan pemerintah provinsi bersama-sama menangani dan menanggulangi masalah banjir ini. "Tetapi, saya ingin agar kerja sama itu dibangun pusat provinsi dan kabupaten/kota. Sehingga semuanya bisa tertangani dengan baik," ucapnya.

Penanganan terpenting saat ini, kata dia, yakni mengevakuasi para korban yang terdampak banjir dan memberikan pertolongan pertama. Jokowi mengatakan, keamanan dan keselamatan masyarakat pun harus diutamakan. "Tapi, yang paling penting pada saat kejadian seperti yang sekarang ini evakuasi korban banjir. Keselamatan keamanan masyarakat harus didahulukan," katanya.

Setelah evakuasi warga terdampak banjir selesai dilakukan, ia berjanji pemerintah akan segera membahas upaya penanganan banjir selanjutnya. "Nanti urusan penanganan banjir secara infrastrukturnya akan kita bicarakan setelah penanganan evakuasi selesai," ungkap dia.

Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi mengatakan, sejak satu dekade lalu Pulau Jawa, khususnya Jakarta, berada dalam kondisi yang rapuh. Ia menilai, tekanan pembangunan dan ekonomi yang ada terus mengikis daya dukung lingkungan hidup, sehingga daya tampung lingkungan tidak lagi mumpuni.

“Pemerintah harus mengetahui bahwa krisis iklim dan ekologi sudah sangat nyata. Artinya, perubahan iklim telah diperparah dengan krisis ekologi yang terjadi,” ujar Tubagus kepada Republika, Kamis (2/1).

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga menyebutkan, banjir di DKI Jakarta tidak hanya dipengaruhi curah hujan. Faktor infrastruktur wilayah, topografi, dan drainase juga turut memengaruhi suatu wilayah berpotensi banjir atau tidak.

Selain itu, banjir juga bisa terjadi akibat kiriman dari hulu atau karena luapan air sungai. "Banjir DKI tidak hanya dipengaruhi oleh curah hujan di DKI saja, tapi pengaruh dari hujan-hujan dari wilayah sekitar DKI, seperti Bogor, Depok dan sekitarnya," kata Kasubdit Analisis Informasi Iklim BMKG, Adi Ripaldi.

Menurut Adi, kewasapadaan banjir DKI Jakarta seharusnya tidak hanya fokus pada bulan puncak musim hujan, yakni pada Februari-Maret, tetapi juga harus diwaspadai sejak peralihan musim kemarau ke hujan. Kewaspadaan itu juga perlu difokuskan di sepanjang periode musim hujan. "Sepanjang Desember 2019 hingga Mei 2020, karena hujan-hujan lebat bisa saja terjadi suatu saat," ujar dia.

photo
Sejumlah pengendara motor menghindari banjir saat melintasi banjir di bawah 'flyover' Kembangan, Jakarta Barat, Kamis (2/1/2020).

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia (PUPR) Basuki Hadimuljono mengiyakan, penyebab utama terjadinya banjir kali ini karena curah hujan yang cukup tinggi dan panjang dibandingkan curah hujan biasanya yaitu mencapai 377 mm. Namun, Basuki menilai, dampak curah hujan tersebut bisa ditanggulangi dengan baik apabila Pemprov DKI Jakarta dapat menuntaskan keterlambatan normalisasi sungai Ciliwung yang baru dilakukan sepanjang 16 kilometer (km) dari total 33 km.

Lebih lanjut, Basuki mengungkapkan, daerah di sekitar wilayah sungai yang sudah dinormalisasi terlihat tidak tergenang banjir sama sekali. Kondisi ini berbeda jauh dengan wilayah yang belum dinormalisasi. Ke depannya, Kementerian PUPR bersama kementerian/lembaga terkait bakal mengintensifkan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar daerah yang terendam banjir ke depan dapat lebih berkurang dari jumlah saat ini.

Basuki mengungkapkan, salah satu sumber masalah penyebab banjir se-Jabodetabek terjadi karena pembangunan dua bendungan kering yang masih tertunda. Kedua bendungan itu adalah Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi. Normalisasi Kali Ciliwung dari Jakarta Outer Ring Road (JORR) sampai Manggarai juga merupakan bagian dari komitmen pemerintah pusat untuk mengendalikan banjir Jakarta.

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan pengendalian banjir Jakarta harus dimulai dari wilayah selatan, sebagai sumber air yang masuk di wilayah pesisir Jakarta. "Selama air dibiarkan dari selatan masuk ke Jakarta dan tidak ada pengendalian, maka apa pun yang kita lakukan di pesisir termasuk di Jakarta tidak akan bisa mengendalikan air," kata Anies.

Anies mencontohkan, terjadinya banjir ekstrem yang terjadi di Kampung Melayu beberapa waktu lalu, walaupun sudah dilakukan normalisasi. Kunci pengendalian banjir, kata dia, adalah mengendalikan air sebelum masuk pada kawasan pesisir.

Anies bersyukur saat ini Kementerian PUPR sedang menyelesaikan pembangunan dua bendungan untuk mengendalikan banjir sepanjang aliran Kali Ciliwung. "Kalau dua bendungan itu selesai maka volume air yang masuk ke pesisir bisa dikendalikan. Insya Allah kita terbebas dari banjir," ungkap Anies.

Ia menekankan, selama air mengalir begitu saja, walaupun dilakukan pelebaran sungai, volume air akan luar biasa. Anies menegaskan, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat akan duduk bersama membahas rencana besar dan cepat untuk penuntasan pengendalian air sebelum masuk kawasan pesisir. n dessy suciati saputri/puti almas/ronggo astungkoro/antara ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement