REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kepolisian telah menangkap dua pelaku penyiraman air keras kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) Novel Baswedan, yaitu RM dan RB pada Kamis (26/12) malam. Seharusnya pengungkapan kasus yang mangkrak hampir tiga tahun ini bisa menjadi kado ulangtahun lembaga antirasuah.
Namun, pengungkapan kasus yang berjalan lebih dari dua tahun ini terasa dangkal. Banyak kejanggalan dari keterangan kedua pelaku, salah satunya yakni motif dendam terhadap Novel Baswedan.
Saat dikonfirmasi Novel mengaku mengapreasiasi pengungkapan teror terhadap dirinya. Namun, ia merasa janggal terhadap motif para pelaku yang mengaku dendam terhadap dirinya.
"Tentunya di satu sisi saya lihat positif dari upaya pengungkapan. Tapi di sisi lain ketika dia (tersangka) berbicara terkait masalah pribadi dengan saya ini lelucon apa lagi. Kemudian dendam pribadi, memang saya punya hutang apa. Dan saya berpikir lebih baik saya bertemu orangnya," ujar Novel di kediamannya pada Jumat (27/12) malam.
"Saya tak mau berkomentar lebih lanjut. Karena pastinya polisi masih melakukan pemeriksaan kita harus menghormati. Dan satu lagi yang penting jangan sampai objektivitas ditinggalkan," tambahnya.
Sementara Tim Advokasi Novel Baswedan mendesak agar segera diungkap Jenderal yang terlibat atas kasus penyerangan penyidik senior KPK tersebut. Salah satu perwakilan Tim Advokasi, Yati Andriyani meminta agar Kepolisian segera mengungkapnya lantaran sejak awal jejak-jejak keterlibatan anggota Polri dalam kasus ini sangat jelas, salah satunya adalah penggunaan sepeda motor anggota kepolisian.
"Kepolisian harus segera mengungkap jendral dan aktor intelektual lain yang terlibat dalam kasus penyiraman dan tidak berhenti pada pelaku lapangan," tegas Yati.
Menurutnya, hasil Tim Gabungan Bentukan Polri dalam temuannya menyatakan serangan kepada Novel berhubungan dengan pekerjaannya sebagai penyidik KPK. KPK menangani kasus-kasus besar, sesuai UU KPK, sehingga tidak mungkin pelaku hanya berhenti di 2 orang ini.
"Oleh karena itu perlu penyidikan lebih lanjut hubungan 2 orang yang saat ini ditangkap dengan kasus yang ditangani Novel/KPK," ujarnya.
Kemudian, lanjut dia, Kepolisian harus mengungkap motif pelaku tiba-tiba menyerahkan diri, apabila benar bukan ditangkap. Dan juga harus dipastikan bahwa yang bersangkutan bukanlah orang yang "pasang badan" untuk menutupi pelaku yang perannya lebih besar.
"Oleh karena itu Polri harus membuktikan pengakuan yang bersangkutan bersesuaian dengan keterangan saksi-saksi kunci di lapangan," ucapnya.
Hal ini diperlukan karena terdapat kejanggalan-kejanggalan seperti adanya SP2HP tertanggal 23 Desember 2019 yang menyatakan pelakunya belum diketahui dan sangat berbeda dengan berita hari ini yaitu kedua polisi tersebut menyerahkan diri atau ditangkap.
Menurut Tim Advokasi, temuan polisi seolah-olah baru sama sekali. Misal apakah orang yang menyerahkan diri mirip dengan sketsa-sketsa wajah yang pernah beberapa kali dikeluarkan Polri. Sehingga, Polri harus menjelaskan keterkaitan antara sketsa wajah yang pernah dirilis dengan tersangka yang baru saja ditetapkan.
Yati melanjutkan, ketidaksinkronan informasi dari Polri yang mengatakan belum diketahuinya tersangka dengan pernyataan Presiden yang mengatakan akan ada tersangka menunjukkan cara kerja Polri yang tidak terbuka dan profesional dalam kasus ini. Korban, keluarga dan masyarakat berhak atas informasi terlebih kasus ini menyita perhatian publik dan menjadi indikator keamanan pembela HAM dan anti korupsi.
"Polisi juga harus mengusut tuntas teror lainnya yang menimpa Pegawai maupun Pimpinan KPK periode sebelumnya (teror bom di rumah Agus Rahardjo dan Laode M Syarif)," tegasnya.
Selain itu, Presiden perlu memberikan perhatian khusus atas perkembangan teror yang menimpa Novel. Dan jika ditemukan kejanggalan maka Presiden harus memberikan sanksi tegas kepada Kapolri.
Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis meminta agar penyidikan kasus tersebut dilakukan dengan transparan. "Saya sudah perintahkan Kabareskrim bersama Kapolda Metro Jaya untuk melakukan penyelidikan yang transparan dan beri waktu penyidik melakukan proses penyidikan," ujar Idham
Dengan ditangkapnya dua terduga pelaku, yaitu RM dan RB diharapkannya dapat membuka fakta baru terkait kasus Novel. Namun, ia juga tetap meminta semua pihak untuk mengedepankan asas praduga tak bersalah. "Sidangnya nanti akan dilaksanakan dengan terbuka di pengadilan. Asas praduga tak bersalah tetap kita kelola," ujar Idham.
Diketahui, Novel Baswedan disiram air keras berjenis Asam Sulfat atau H2SO4 pada Selasa 11 April 2017. Pria yang menangani kasus korupsi KTP-el yang melibatkan Eks Ketua DPR RI Setya Novanto itu diserang usai menunaikan Salat Subuh di Masjid dekat kediamannya di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Setelah hampir tiga tahun tak jelas, akhirnya dua orang terduga pelaku disebut menyerahkan diri. Dua terduga pelaku itu ternyata merupakan anggota kepolisian.