Jumat 27 Dec 2019 15:38 WIB

Menunggu Respons Jokowi Soal Nduga

Jokowi diharap Wakil Bupati mau duduk bersama menyelesaikan masalah di Nduga.

Wakil Bupati Nduga Wentius Nimiangge di hadapan warganya mengumumkan pengunduran diri dari jabatannya.
Foto: Twitter/@jayapuraupdate
Wakil Bupati Nduga Wentius Nimiangge di hadapan warganya mengumumkan pengunduran diri dari jabatannya.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika dan Dessy Suciati Saputri

JAKARTA -- Wakil Bupati Nduga Wentius Nimiangge mengaku telah menyiapkan surat pengunduran diri. Surat namun belum diserahkan secara resmi ke Pemerintah Provinsi atau Gubernur Papua sebagai pembina Pemerintah Kabupaten atau Bupati dan Wakil Bupati.

Ia belum mengundurkan diri secara resmi karena menunggu respons Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menangani konflik Nduga.

"Kalau itu tidak lanjut sampai Presiden tidak merasa dipanggil Gubernur, Bupati, pembunuhan di Papua bukan Nduga saja. Kita duduk bersama-sama, normalisasi dengan rakyat, kalau jabatannya melekat, kalau itu tidak ada (tanggapan serius), jabatan semua turun," ujar Wentius saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (26/12).

Ia ingin pemerintah pusat duduk bersama dengan pemerintah daerah serta warga untuk menyelesaikan konflik Nduga dan Papua secara umumnya. Wentius Nimiangge mengundurkan diri dari jabatannya di hadapan masyarakat Nduga pada Selasa (24/12) lalu.

Wentius mengaku tak sanggup melihat warganya menjadi korban kekerasan hingga pembunuhan. Termasuk sopirnya yang tewas ditembak.

Pada saat pengunduran dirinya, ia dan warga tengah melakukan penguburan jenazah sopirnya yang tewas ditembak pada Jumat (20/12) sekitar pukul 19.00 waktu setempat.

Wentius mengaku kecewa karena warga sipil yang hanya mengantarkan kayu bakar dan antaran untuk masyarakat itu justru ditembak. Menurut dia, sehari jelang Natal semestinya jadi hari Tuhan Yesus di mana semua orang bersuka cita dan damai, tetapi ia masih mengurusi jenazah warganya.

"Hari Natal Tuhan Yesus punya tapi kami mengatur kuburan segala macam, kekecewaan ini yang saya harus mundur seperti itu," kata Wentius.

Wentius mengaku kecewa terhadap pemerintah pusat dalam merespons konflik di Kabupaten Nduga sejak Desember 2018 lalu. Warganya masih banyak yang mengungsi tetapi Desember 2019 terjadi lagi kasus pembunuhan.

photo
Sejumlah keluarga korban penembakan di Kabupaten Nduga Papua, Emanuel B.B Naektias menyambut kedatangan jenazah Emanuel di Terminal Kargo Bandara El Tari Kupang, NTT (8/12/2018).

Ia mengaku sudah bertemu dengan Kapolda Papua, Pangdam, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Kapolri, DPR RI, hingga Presiden. Akan tetapi, menurut Wentius, suaranya tak ditanggapi dengan baik oleh pemerintah pusat.

"Kita sampaikan juga tetapi suara kita juga tidak direspons. Karena bupati wakil bupati ini perpanjangan tangan presiden di negeri ini, tapi apapun yang kami bicara tolak belakang terus," kata dia.

Ia mengatakan penambahan pasukan di Nduga oleh pemerintah pusat tak menyelesaikan masalah. Wentius meminta Presiden menarik menarik seluruh pasukan non-organik (TNI) karena khawatir dengan kondisi warganya.

"Jadi pasukan harus ditarik, pasukan organik dia tinggal baik kapolsek maupun kodim, kalau pasukan tambahan ini harus ditarik," lanjut dia.

Wentius menuturkan, permintaan penarikan pasukan keamanan sudah disampaikan beberapa kali, tetapi pemerintah pusat tak menggubrisnya. Padahal, Bupati dan Wakil Bupati merupakan perpanjangan pemerintah pusat di daerah, tetapi sarannya tak didengar pemerintah pusat.

"Kalau itu tidak bisa berarti bupati dan wakil bupati sudah turun. Daripada saya hadapi masalah terus, saya ini bukan mengumpulkan masalah, bukan membangun rumahnya pribadinya tapi mengumpulkan kecewa terus makanya saya harus mengundurkan diri," ungkap Wentius.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberikan tanggapannya terkait pendekatan keamanan yang menjadi alasan pengunduran diri Wakil Bupati Nduga Wentius Nimiangge. Menurut mantan kepala Polri itu, penerjunan pasukan Polri dan TNI ke wilayah itu sudah dilakukan sejak lama, yakni sejak pembantaian para pekerja dari PT Istaka Karya.

Hingga saat ini, pasukan yang diterjunkan pun belum juga ditarik karena pelaku belum tertangkap. Selain itu, Tito mengatakan, alasan keamanan membuat operasi TNI dan Polri masih berlangsung.

"Siapa yang bisa menjamin kalau tidak terulang lagi pembantaian itu terjadi. Maka karena tidak ada yang bisa jamin maka penegakan hukum, penegakan hukum Polri dan TNI. Nah TNI di sana dalam rangka mendukung operasi kepolisian penegakan hukum karena medannya yang sulit," kata Tito di Istana Presiden Bogor, Jawa Barat, Jumat (27/12).

photo
Menteri Dalam Negeri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengatakan TNI harus tetap ada di Nduga, Papua, karena alasan keamanan.

Tito juga menyebut, tak sedikit pula anggota TNI dan Polri yang turut meninggal untuk mencari para pelaku dan melakukan penegakan hukum di wilayah itu. Karena itu, lanjutnya, permintaan penarikan pasukan tersebut belum dapat dipenuhi karena tak adanya jaminan keamanan warga sekitar.

"Ini jadi kalau seandainya ada permintaan penarikan pasukan, pertanyaannya ada tidak yang bisa menjamin baik bupati, wakil bupati atau ada tidak yang bisa menjamin tokoh-tokoh di sana tidak akan terulang peristiwa, bukan hanya pembantaian 34 orang itu (PT Istaka Karya)," ujarnya.

Tito mengaku beberapa kali telah menanyakan hal ini kepada para tokoh setempat. Namun tak ada yang bisa menjamin keamanan warga di wilayah itu. Karena itu, pasukan TNI dan Polri pun masih diterjunkan.

"Artinya kan harus ada perlindungan di sana. Jangan salah, beberapa masyarakat kelompok masyarakat ada yang takut. Baik yang kelompok masyarakat pendatang maupun yang asli di situ juga takut pada mereka," kata Tito.

Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua sekaligus penanggung jawab tim, Theo Hasegem menyebut konflik bersenjata di Nduga telah menyebabkan 182 warga meninggal. Sebagian korban dilaporkan meninggal dalam konflik bersenjata antara tentara Pembebasan Papua Barat dan TNI dan sebagian lainnya meninggal dalam pelarian di hutan dan meninggal di pengungsian karena kelaparan.

Agustus lalu, anggota Ombudsman RI Ahmad Suaedy, di Jakarta, menyatakan pemerintah tidak memiliki data yang cukup terkait jumlah pengungsi dan tujuan pengungsian Nduga yang sebenarnya. Padahal untuk menyelesaikan persoalan di Nduga diperlukan data jelas, seperti untuk menyalurkan bantuan kepada pengungsi.

Sejauh ini, ujar Suaedy, data satu-satunya mengenai pengungsi Nduga, termasuk korban kemanusiaan, hanya dimiliki Tim Kemanusiaan Nduga yang laporannya telah disampaikan kepada publik juga di bulan Agustus 2018. Berdasar laporan itu, sebanyak 5.000 warga Nduga mengungsi ke Wamena, dan secara keseluruhan diperkirakan sebanyak 45 ribu mengungsi ke kabupaten-kabupaten sekitar Nduga.

Pengungsi berasal dari 16 distrik, sementara 35 ribu di antaranya berasal dari 11 distrik yang kondisi pelayanan publiknya paling parah. Dari 11, sebanyak 8 distrik sama sekali ditinggalkan penghuninya, yakni Distrik Yigi, Nirkuri, Inikgal, Kagayem, Mapnduma, Yal, dan Mugi.

Sedangkan korban kemanusiaan konflik Nduga sebanyak 184 yang terdiri atas 21 perempuan, 69 laki-laki, 21 anak perempuan, 20 anak laki-laki, 14 balita perempuan, 12 balita laki-laki, 17 bayi perempuan, dan 8 bayi laki-laki.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement