Ahad 22 Dec 2019 17:19 WIB

Membela Uighur dengan Puisi

Pembelaan para sastrawan untuk Muslim Uighur yang tertindas

Anak muslim Uighur
Foto: EPA/Diego Azubel
Anak muslim Uighur

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Anugrah Roby Syahputra

Pemberitaan The Wall Street Journal (WSJ) edisi Rabu (11/12) yang berjudul How China Persuaded One Muslim Nation to Keep Silent on Xinjiang Camps membuat heboh publik. WSJ memaparkan China menggelontorkan sejumlah bantuan dan donasi terhadap ormas-ormas Islam di Indonesia setelah isu Uighur kembali mencuat ke publik pada 2018.

NU, Muhammadiyah, MUI serta sejumlah akademisi dan wartawan memang diundang pemerintah China ke Urumqi, ibu kota Xinjiang. Namun mereka lekas-lekas membantah tudingan itu.

Selain itu, pemain sepak bola Jerman, Mesut Oezil juga mencuri perhatian publik karena cicitannya di Twitter yang menyuarakan kepedihan nasib Muslim Uighur. Oezil juga menyindir negara-negara muslim yang bungkam atas genosida yang terjadi di provinsi paling barat China tersebut.

“Mushaf-mushaf (Alquran) dibakar, masjid ditutup, sekolah-sekolah teologi Islam, madrasah dilarang, cendekiawan agama dibunuh satu per satu. Terlepas dari semua ini, Muslim tetap diam,” kata pemain top Arsenal itu.

Beijing pun bersegera merespon “propaganda” pemain berdarah Turki itu melalui media milik pemerintah The Global Times dengan menyebut Oezil sebagai “orang yang bingung, dan ceroboh dengan menyalahgunakan pengaruhnya untuk menghasut orang lain.”

Suka tidak suka, dua peristiwa ini menampar wajah Indonesia, baik pemerintah maupun rakyatnya. Apalagi dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi swasta, Salim Said mengungkapkan Presiden Joko Widodo pernah menolak kehadiran delegasi muslim Uighur.

"Delegasi Muslim Uighur datang diantar oleh Din Syamsudin, sudah datang di depan Istana mau ketemu presiden, (tapi) ditolak presiden. Orang ini (Uighur) datang bawa Alquran tulisan tangan sebagai hadiah kepada presiden RI, presiden sebuah negara dengan penduduk Islam yang besar, itu kan bagus kalau diterima, tapi katanya ditolak," jelasnya.

Ya, Indonesia sudah lama bungkam. Terakhir Indonesia mengaku prihatin mengenai laporan bahwa masih adanya penindasan terhadap minoritas Muslim Uighur di China. Meski demikian, Indonesia tetap mengedepankan mekanisme dialog dengan China mengenai hal ini.

"Posisi kita, seperti yang sudah disampaikan berkali-kali, bahwa prinsipnya kita memiliki keprihatinan, tapi kita juga mengedepankan mekanisme konsultasi dan diskusi dengan China," ucap Subdir Hak Sipil dan Politik, Dirham dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Indonesia, Indah Nuria Savitri. (sindonews.com, 16/12/2019).

Terkait hal itu, April lalu Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menerbitkan laporan berjudul Explaining Indonesia's Silence on the Uyghur Issue. Menurut analisis mereka, salah satu faktor utama diamnya pemerintah Indonesia terhadap pelanggaran HAM di Xinjiang adalah dugaan ketergantungan Indonesia terhadap modal dari China yang cukup besar.

"Fakta bahwa China adalah mitra dagang terbesar Indonesia dan juga investor kedua terbesar kita menambah keengganan (Indonesia) untuk mengangkat (isu Uyghur)," bunyi laporan terbaru IPAC yang dilansir CNNIndonesia.com.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement