Ahad 22 Dec 2019 17:19 WIB

Membela Uighur dengan Puisi

Pembelaan para sastrawan untuk Muslim Uighur yang tertindas

Anak muslim Uighur
Foto: ABC News
Muslim Uighur

Harapan yang Tak Boleh Patah

Pantaslah Sugeng tampil sebagai representasi kegusaran bangsa Indonesia atas sikap diam terhadap penindasan ini. Ia juga sudah mengamalkan apa yang dipetuah Sapardi Djoko Damono dalam Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999) bahwa satu-satunya hal yang bisa dilakukan penulis masa kini adalah bersikap lebih sungguh-sungguh dalam memperhatikan persoalan masyarakat di sekitarnya. Ia harus berusaha terus untuk menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial; untuk kemudian menyusun kritiknya.

Genosida ini harus dihentikan dengan apapun yang kita bisa. Arienne M. Dwyer dalam The Xinjiang Conflict: Uyghur Identity, Language Policy and Political Discourse (2005) tegas membongkar program genosida kebudayaan di mana sekadar istilah etnis Turkic saja dihapuskan karena dianggap dapat menyulut Pan Turkisme di kalangan Uighur, Kazakh, Uzbek, Kirgiz dan Tatar. Pemerintah Cina bahkan menggunakan satu identitas etnik Xinjiang ren (orang Xinjiang) untuk mengganti istilah Uighur serta mewajibkan penggunaan Bahasa Cina di sekolah-sekolah.

Semua fakta ini sudah dituang oleh Sugeng secara apik. Sugeng walau tak tinggal di Xinjiang seperti mewakili semangat kritik Milan Kundera dan Gabriel Garcia Marquez. Ia menunjukkan kemarahannya sebagaimana Rendra membuat pampletnya. Menurut Foucault dalam Eriyanto (2001), kata-kata sebagai bagian dari wacana bukan hadir hanya sebagai unsur wacana, tetapi kata-kata mampu memproduksi hal lain yakni gagasan, konsep, bahkan  efek. Dengan kata lain, puisi-puisi yang dirangkai ini diharapkan mengetuk kesadaran pemimpin khususnya dan seluruh rakyat Indonesia pada umumnya agar segera mengambil sikap tegas.

Kritik ini tak perlu dimaknai sebagai sikap politik oposisi. Toh, kita sama-sama hidup di bawah langit yang sama dan makan minum dari bumi yang tak berbeda. Sungguh masalah pelanggaran HAM ini adalah perkara kemanusiaan.

Judul buku Sugeng mengingatkan kita, walau secara geografis berjarak beribu kilometer, seyogianya jika masih ada nurani di dada maka peduli itu hanyalah selangkah kaki saja. Pesan yang hendak disampaikan sudah begitu benderang.

Mungkin puisi pamungkas berjudul Sajak Terakhir di halaman 106 merupakan titik tekan dari semua abjad yang terangkai di kitab ini. “Jangan engkau risaukan mati/ sebab kita semua tau/ mati yang baik bukan di rumah sakit mahal/ atau harta berlimpah yang kau tinggalkan/ tapi saat ajal menjemput/ kita sedang berjihad di jalan Tuhan.”

Sugeng sudah menunaikan tugasnya sebagai penyair. Kita?

*) Penulis adalah Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement