Ahad 22 Dec 2019 17:19 WIB

Membela Uighur dengan Puisi

Pembelaan para sastrawan untuk Muslim Uighur yang tertindas

Anak muslim Uighur
Foto: republika
Save muslim Uighur.

Sajak Perlawanan dari Deli Serdang

Kelompok elite mungkin diam, sebagian jurnalis juga bungkam, tapi seperti titah Seno Gumira Ajidarma, "ketika jurnalisme dibungkam maka sastra harus bicara". Karena itu, dari sudut MIS Hidayatullah, Desa Sena, Jalan Raya Batang Kuis-Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, seorang penyair lantang meneriakkan suaranya. Penyair cum jurnalis Harian Waspada, Sugeng Sathya Dharma menorehkan seratus puisi pembelaannya pada etnis Uighur dalam antologi puisi Uighur, Beribu Kilometer Selangkah Kaki.

Seratus puisi ini pada mulanya diunggah di akun Facebook pribadi. Satu hari satu puisi ditulis selama seratus hari. Ragam komentar dukungan mengalir karena sajak-sajaknya mewakili mayoritas yang diam.

Banyak orang baik yang masih bernurani, tapi takut bersuara. Maka karya-karya Sugeng ini menjadi representasi keprihatinan yang selama ini terpasung. Warganet lantas ramai membagikan (share) puisi Sugeng hingga akhirnya pada Maret 2019, Forum Sastrawan Deli Serdang menerbitkannya dalam sebuah buku.

Nyaris seluruh puisi yang termaktub di risalah setebal 108 halaman ini berisi gugatan dan ungkapan kepedulian. Di halaman pertama misalnya, Luka Batu Uyghur Lukaku mendeskripsikan bagaimana penyair mengakui kealpaanya dalam membela saudaranya.

“Akulah saudaramu/ selemah-lemah saudaramu/ cuma bisa berdoa aku/ bertanya ragu/ mengapa Tuhan tak berpihak kepadamu.”

Begitu pula puisi Maaf Uyghur, Di Sini Kami Masih Berebut Kuasa dan Surat untuk Uyghur Saudaraku yang berisi pengakuan atas ketidakberdayaan bangsa ini atas penindasan yang terjadi karena perkara remeh-temeh. “Di sini kami sedang sibuk ngurusi kardus dan kaleng/riuh rendah menggosipkan poligami/ asyik masyuk dengan tetek bengek duniawi.” (hal. 3)

Jelaslah sudah bahwa kita memang sudah lama terdiam. Sebagian orang yang mengaku aktivis pun barangkali banyak yang berpuas diri dengan sekadar membagikan sebuah unggahan di media sosial. Padahal penderitaan rakyat dari negeri yang dulu bernama Turkistan Timur ini masih berlanjut tanpa henti atas nama “re-edukasi”.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement