Ahad 22 Dec 2019 17:19 WIB

Membela Uighur dengan Puisi

Pembelaan para sastrawan untuk Muslim Uighur yang tertindas

Anak muslim Uighur
Foto: ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, antre makan siang di kantin saat jam istirahat, Jumat (3/1/2019).

Parade Kesedihan

Lembar demi lembar yang kita buka di buku ini tak ayal membuat mata mengabut dan menjatuhkan bulir bening. Bagaimana hal itu tak terjadi sementara bait-bait yang hadir selalu mengabarkan kesedihan. Muslime Turakhan Kabarkanlah Luka Uyghur Padaku, Serenada Hitam Ilham Toxti dan Syeikh Abdul Ahad, Kisah Xiamuxinuer dam Reyila, Kepada Dolkun Isa, Sesal hati Chaudry Javedatta, Elegi Omar Bekalic dan Airmata Kayrat Samarkan mewakili rentetan luka itu.

Selain itu, Sugeng juga dengan gamblang memampangkan genosida kebudayaan yang terjadi di mana identitas Islam yang melekat sekian lama coba dihapus begitu saja. Dalam Burka Medina di Almari Sepi, dilukiskan derita seorang muslimah yang kerudungnya dicopot paksa. “Aishe Medina berontak/ suaranya keras menyalak/mata dunia terbelalak/cuma sejenak.” (hal. 23)

Di halaman berikutnya Sugeng menyitir novel Layaali Turkistan karya Najib Al Kailany tentang negeri muslim yang hilang. Bela diri khas muslim pun turut dilenyapkan demi membasmi jejak-jejak religiusitas Islam. “Thifan Po Khan pun raib/ kepalan tangan bangsawan Turkistan itu/ perpaduan beladiri purba dataran Saldsyuk/ dari Tayli, Doghan, Oirat, Kitan Tatar, Wigu/ dengan paksa dimusnahkan.” (hal. 24)

Bahkan, tak jauh beda seperti yang dialami bangsa Moor di Andalusia, kaum Muslim dipaksa untuk “rela minum alkohol dan makan babi” untuk membuktikan dia bukan ekstrimis, separatis dan teroris seperti ditutur dalam Suara Helmurat Pecah Membentur Tembok Tinggi (hal. 92).

Persis dengan dalih China yang dijadikan sandaran KH Robikin Emhas dari PBNU ketika ditanya wartawan, "Kamp itu justru dibuat untuk menjauhkan mereka (warga Uighur) dari ekstremisme dan radikalisme yang tercipta di Xinjiang.” (cnnindonesia.com, 13/12/19).

Lebih lanjut, Sugeng terang-terangan menyebut adanya Luka Tauhid di halaman 44. Ia menulis, “Ketika kepercayaanmu pada Tuhan dirontokkan/ demi narasi sejarah kekuasaan/ rumput dan ilalang mengering/ di hamparan gurun pasir/ pohon-pohon kehilangan akar/ sedang engkau cuma bisa tafakur/ hanya tafakur/ dalam takut yang berkecamuk, Uyghur.”

Sugeng terus memaparkan realitas yang selama ini disembunyikan secara vulgar kepada pembaca. Hal ini senada dengan yang dimaksud Gunawan Mohammad dalam Potret Seorang Penyair Muda sebagai Malin Kundang (1972) bahwa yang paling esensial dari sebuah puisi adalah kenyataan sehingga tidak boleh ada puisi tanpa realitas. Hippolyte Taine dalam Fananie (2000) juga punya pendapat serupa menyatakan karya sastra tidak sekedar fakta imajinatif dan pribadi, tetapi merupakan cerminan budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement