REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mayoritas masyarakat Indonesia tidak setuju jika presiden dan wakil presiden kembali ditunjuk oleh MPR. Hal tersebut terungkap berdasarkan riset yang dilakukan lembaga survei Roda Tiga Konsultan.
"Responden cenderung dengan sangat jelas menolak pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan oleh MPR," kata Direktur Riset Roda Tiga Konsultan Taufiq Arif di Jakarta, Selasa (17/12).
Taufiq mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil survei ada 52,8 persen publik tidak setuju MPR diberi kewenangan menunjuk kepala pemerintahan. Dia melanjutkan, survei juga mendapat bahwa 12,3 persen responden sangat tidak setuju pada wacana tersebut.
Mengacu pada survei tersebut, sebanyak 9,9 persen responden setuju agar kepala negara kembali ditunjuk oleh MPR. Sedangkan 0,9 persen responden menyatakan sangat setuju.
Survei juga menangkap bahwa ada 17,6 persen masyarakat yang menyatakan netral atas wacana tersebut. Sedangkan 6,4 persen memilih untuk tidak memberikan jawaban.
Penolakan serupa juga terjadi atas wacana penunjukan kepala daerah kepada DPRD. Taufiq mengungkapkan, sebanyak 54,3 persen masyarakat menyatakan tidak setuju jika gubernur dan wakil gubernur dipilih oleh DPRD. Hanya 10,6 persen mengaku sepakat dengan wacana tersebut.
Survei juga mendapati bahwa 11,9 persen publik sangat tidak setuju DPRD diberi kewenangan menunjuk kepala daerah. Sementara, sebesar 0,6 persen masyarakat sangat setuju atas wacana tersebut.
Riset yang dilakukan juga mendapatkan ada 17 persen masyarakat memilih netral dan 5,7 persen tidak menjawab.
Survei dilakukan terhadap 1.200 responden dengan populasi di seluruh provinsi Indonesia dengan metode statifed systemic random sampling. Survei dilakukan dengan wawancara tatap muka secara langsung pada November hingga Desember 2019 dengan margin of eror 2,89 persen.
Untuk menjaga kualitas data, digunakan metode live call dan call back terhadap 20 persen dari jumlah sampel. Adapun variabel survei yaitu kondisi sosial ekonomi, kinerja dan kebijakan pemerintah, isu-isu nasional, pancasila, toleransi antar suku dan agama dan preferensi terhadap pemilu 2019.
Peneliti Senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia meminta semua pihak untuk mengkaji kembali opini soal pemilu tidak langsung. Menurutnya, mekanisme pemilihan pemimpin daerah dan nasional saat ini telah berjalan sangat baik.
"Jadi tidak diganti sistemnya tapi apa yang memang menjadi catatan-catata pemerinah dalam teknis pemilunya dalam teknis pilkadanya misalnya seperti itu," katanya.
Munculnya wacana pemilihan tidak langsung berangkat dari tingginya biaya politik hingga potensi kericuhan di tengah masyarakat. Ferry mengatakan, diperlukan komitmen partai politik untuk tidak boleh ada mahar dan jangan sampai terjadi serangan fajar.
"Biaya saksi yang memang juga harus ditekan dan juga hal-hal lain yang menimbulkan biaya politik tinggi itu menjadi catatan dan itu perlu dievaluasi lebih lanjut," katanya.
Pakar Politik Andi Mallarangeng meminta presiden Joko Widodo untuk tidak terjebak dalam mengurusi amandemen UUD 1945. Dia mengatakan, amandemen pada dasarnya sudah tidak disetujui dan ditolak oleh rakyat.
Menurutnya, pemerintahan Jokowi periode kedua hanya memiliki waktu efektif bekerja hanya tiga tahun pertama. Dia mengatakan, partai dan elite politik lainnya sudah akan sibuk kampanye di tahun keempat dan bersiap menghadapi pemilu di tahun kelima.
"Kalau saya menyarankan Pak Jokowi untuk fokus menyelesaikan masalah ekonomi saja," kata mantan menteri pemuda dan olahraga itu.