REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ponsel yang kian canggih sangat memungkinkan penyebaran ideologi-ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, langsung menerpa rakyat Indonesia. Ironinya, tidak ada lagi penyaring, kontrol, ataupun edukasi sehingga membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Singgih Januratmoko. “Bahaya radikalisme agama hingga pemujaan terhadap kebebasan individu yang mengabaikan nilai-nilai moral bangsa Indonesia, kini langsung mencapai setiap individu dengan mudah melalui telepon seluler yang kian canggih,” ujar Singgih.
Mewakili Wakil Ketua MPR Kahar Muzakir dalam acara Sekolah Virtual Kebangsaan (SVK) yang dihelat DPP LDII belum lama ini. Singgih Januratmoko mengingatkan era media baru yang ditandai dengan kehadiran media sosial, mengakibatkan pengaruh budaya Barat dan radikalisme agama sangat mudah menjangkau khalayak yang mereka targetkan.
“Para radikalis agama dan orang-orang yang mempromosikan hedonisme, kehidupan bebas, hingga konsumerisme melalui media sosial. Siapa saja, bahkan keluarga kita bisa terpengaruh,” papar Singgih di hadapan peserta 1.500-an peserta SVK, yang terdiri dari DPW dan DPD LDII di 37 provinsi, yang mengikuti acara itu secara daring.
Ia pun mengapresiasi DPP LDII yang menggandeng MPR, untuk menyelenggarakan SVK, untuk mengedukasi masyarakat mengenai nilai-nilai kebangsaan, terutama mengenai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI, “Pemerintah tidak bisa sendirian membentengi rakyatnya dari pengaruh ideologi transnasional, peran ormas seperti LDII ini sangat strategis dan penting dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila.
Senada dengan Singgih Januratmoko, Ketua DPP LDII KH Chriswanto Santoso mengungkapkan sejak akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21, nasionalisme Indonesia menghadapi tantangan besar. Proses globalisasi dan ekspansi neoliberalisme, yang sering disebut pasar bebas, telah menggerus kekuatan negara-bangsa, “Kita punya kepentingan untuk memiliki negara yang kuat. Hanya negara yang kuat yang mampu melindungi rakyatnya,” ungkapnya.
Selain itu, KH Chriswanto menyebutkan bahwa penurunan kualitas kebangsaan juga bisa bersumber dari dinamika internal bangsa Indonesia. “Bangsa Indonesia, yang merupakan konstruksi supra-etnik, dapat menghadapi masalah etnik, jika negara ini tidak mampu lagi memberikan kesejahteraan, keadilan, dan kebanggaan,” ujarnya.
Bagi LDII, menurut KH Chriswanto, SVK sangat penting mengingat situasi bangsa yang terus-menerus menghadapi tantangan global, regional, dan nasional. “Sebagian masyarakat kita mengkhawatirkan adanya kemerosotan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara,” ungkapnya. Bahkan moralitas bangsa yang terus merosot, menurutnya karena terjadi pengabaian terhadap nilai-nilai Pancasila.
Terkait pentingnya penerapan nilai-nilai Pancasila untuk memajukan bangsa, Akademisi Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPI) Yudi Latif mengatakan Pancasila adalah filsafat yang diterapkan sehari-hari (Weltanschauug) . Maksudnya, Pancasila menjadi ideologi atau jembatan filosofis bangsa Indonesia dan juga pandangan dunia.
Yudi Latif yang juga profesor di bidang filsafat politik itu menjelaskan, Pancasila sebagai ideologi karena itu juga mengatur operasi sistem politik bernegara. “Semangat dasar Pancasila, seperti nilai gotong-royong, musyawarah, kooperatif, menjadi inti cerminan laku hidup,” kata Yudi.
Jika ingin mengembangkan nilai gotong-royong, maka kelembagaan politik perlu klop dengan institusi yang menyetarakan nilai politik. Yudi berharap, ke depannya, pembudayaan tata nilai dibangun kembali lewat peran komunitas. “Tidak mungkin aparatur negara mengatur itu, penjaganya harusnya komunitas, seperti komunitas adat-budaya, pendidikan, agama. Seperti LDII yang konsisten menjadi jangkar Pancasila,” kata dia.
“Negara perlu bergerak bersama komunitas agar kita tidak kehilangan Pancasila. Aparatur negara, komunitas, dan pengusaha perlu berupaya bersama menguatkan itu,” kata dia.