Selasa 17 Dec 2019 10:28 WIB

Mantan Sekjen MA Tersangka Suap

Nurhadi diduga terima uang Rp 46 miliar untuk atur sejumlah putusan pengadilan.

Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman bersiap menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi,  Jakarta, Selasa (6/11).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman bersiap menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa (6/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan sekretaris jenderal Mahkamah Agung (MA) Nurhadi sebagai tersangka suap dan gratifikasi. Nurhadi diduga menerima uang Rp 46 miliar untuk mengatur sejumlah putusan pengadilan selama menjabat sejak 2010 sampai 2016. Kasus ini dinilai sebagai salah satu skandal mafia peradilan terbesar di lembaga tertinggi yudikatif Indonesia.

Komisioner KPK Saut Situmorang menjelaskan, selain Nurhadi, penyidik juga menetapkan dua tersangka lain. Mereka adalah Rezky Herbiyono yang merupakan menantu dari Nurhadi dan Hiendra Soenjoto selaku direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT). Nama terakhir adalah pihak pemberi suap dan gratifikasi. “Menetapkan ketiganya sebagai tersangka,” kata Saut saat konfrensi pers di gedung KPK, Senin (16/12).

Baca Juga

Saut menjelaskan, kasus Nurhadi adalah pengembangan penyidikan terkait perkara lain. Pada 20 April 2016, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Edy Nasution, panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Ia menerima uang dari Doddy Ariyanto Supeno senilai Rp 50 juta. Uang tersebut, diberikan terkait dengan pengaturan putusan pengadilan pada tingkat MA.

Terkait kasus itu, KPK menangkap Eddy Sindoro, salah satu bos di Grup Lippo yang menyerahkan diri. Kemudian, Lucas, pengacara Eddy. Terhadap nama-nama tersebut, KPK sudah menyeretnya ke persidangan dan dalam proses kasasi di MA.

Pada 6 Desember 2019, KPK melakukan penyidikan baru berrdasarkan fakta persidangan keempat nama tersebut. “Setelah mencermati fakta-fakta dalam penyidikan dan persidangan, KPK menemukan bukti yang cukup untuk menetapkan NHD (Nurhadi), RHE (Rezky), dan HS (Hiendra) sebagai tersangka,” kata Saut. Saut mengatakan, ketiganya masih menyangkut skandal pengaturan putusan pengadilan tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK) di MA sejak 2015 sampai 2016.

Menurut Saut, ada tiga kasus suap dan gratifikasi yang melibatkan Nurhadi, Rezky, dan Hiendra. Pertama sengketa lahan yang melibatkan PT MIT dan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN Persero) pada 2010. Kasus perusahaan swasta melawan BUMN tersebut berujung pada PK di MA 2015.

Hiendra sebagai bos PT MIT memberikan sembilan lembar cek kepada Rezky, menantu Nurhadi. Cek senilai total Rp 14 miliar tersebut agar Nurhadi memengaruhi putusan PK, menunda pelaksanaan eksekusi lahan PT MIT di lokasi PT KBN.

Namun, dalam prosesnya, MA dalam PK-nya mengalahkan PT MIT atas PT KBN. Hiendra pun menagih kembali sembilan cek yang pernah diberikan. Meski begitu, KPK menganggap sudah memenuhi tindak pidana pemberian janji atau gratifikasi kepada Nurhadi.

Penelusuran KPK, Nurhadi dan Rezky ternyata sudah bermain sejak kasus tersebut berada di peradilan tingkat pertama. Pada 2015, Hiendra digugat oleh Azhar Umar atas kepemilikan saham di PT MIT. Hiendra pun menang.

Namun, pada tingkat banding, KPK menemukan bukti transaksi senilai Rp 33,1 miliar. Uang tersebut diberikan Hiendra kepada Nurhadi lewat peran Rezky agar menguatkan putusan tersebut. Pemberian uang dilakukan dalam 45 kali transaksi. “Pemberian uang itu, diduga untuk memenangkan perkara Hiendra atas kepemilikan sahamnya di PT MIT,” kata Saut.

Kasus ketiga adalah gratifikasi oleh Nurhadi rentang Oktober 2014 sampai Agustus 2016 yang juga melibatkan Rezky. Total yang diterima Nurhadi senilai Rp 12,9 miliar. Uang itu, diduga terkait dengan penanganan sejumlah perkara perebutan lahan yang proses hukumnya mencapai level MA. n bambang noroyono, ed: ilham tirta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement