Senin 09 Dec 2019 20:24 WIB

Menkumham: Hukuman Mati untuk Koruptor Masih Wacana

Presiden Jokowi membuka peluang hukuman mati bagi koruptor jika rakyat menghendaki.

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly.
Foto: Republika/Edi Yusuf
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi masih dalam tataran wacana. Isu tersebut perlu akan dibahas nanti.

"Pak Presiden bilang kalau ada wacana itu akan dibahas nanti, tapi undang-undangnya sekarang kan ada, tapi belum pernah dipakai juga," kata Yasonna di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, Senin.

Baca Juga

Presiden Jokowi seusai acara Pentas #PrestasiTanpaKorupsi di SMK 57 Jakarta mengatakan bahwa terbuka kemungkinan penerapan hukuman mati bagi korupsi bila masyarakat menghendakinya.

Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor menyebutkan "(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.  Kemudian Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Dalam penjelasannya tertera yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Selain itu juga pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

"Yang dimungkinkan itu kan (hukuman mati) kepada orang yang melakukan korupsi terhadap bencana alam, tapi dalam praktik memang pernah ada (korupsi terkait bencana) di gempa Lombok, baru ada kasus seperti itu dan (hukuman mati) itu kan ancaman maksimal," tambah Yasonna.

Yasonna juga tidak menjanjikan akan ada perubahan UU sehingga penerapan hukuman mati dapat diterapkan lebih luas lagi. Politikus PDI Perjuangan itu mengakui pelaku korupsi terkait bencana alam juga tidak serta merta langsung diancam hukuman mati.

"Kemarin di Lombok, kan itu besarannya. itu semua dalam pertimbangan. Kalau memang bencana alam, tapi dia korupsi Rp 10 juta? Ada variabel-variabel yang harus dipertimbangkan, misalnya, ada dana bencana alam Rp 100 miliar, dia telan Rp 25 miliar, itu sepertiganya dihabisi sama dia, ya itu lain cerita," tutur Yasonna.

Pembahasan hukuman mati bagi koruptor itu diawali dengan pertanyaan seorang siswa kelas XII jurusan Tata Boga SMK 57 Harli Hermansyah kepada Presiden Jokowi. "Mengapa negara kita mengatasi korupsi tidak terlalu tegas? Kenapa gak berani di negara maju, misalnya, dihukum mati, kenapa kita hanya penjara tidak ada hukuman tentang hukuman mati?" tanya Harli.

"Kalau di undang-undang ada yang korupsi dihukum mati ya dilakukan tapi di UU tidak ada yang korupsi dihukum mati, tidak ada betul Pak Menkumham?" jawab Presiden Jokowi seraya bertanya dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang juga menghadiri acara tersebut.

Yasonna lalu menjawab bahwa dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sudah ada aturan mengenai hukuman mati bagi pelaku korupsi, tapi penerapannya terbatas. "Kalau korupsi bencana alam dimungkinan, kalau enggak, tidak (dihukum mati), misalnya, ada gempa tsunami di Aceh atau di NTB kita ada anggaran untuk penanggulangan bencana duit itu dikorupsi bisa," tambah Jokowi.

Namun, Presiden menambahkan sampai sekarang belum ada koruptor yang dihukum dengan hukuman mati.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement