Ahad 08 Dec 2019 18:07 WIB

CSIS: Biaya Politik Tinggi karena Marak Mahar Politik

Biaya politik tinggi bukan karena sistem pilkada, tapi mahar politiknya

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS Arya Fernandes (kiri)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS Arya Fernandes (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes menilai wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) tak langsung atau pemilihan oleh DPRD karena biaya politik tinggi dalam pemilihan langsung merupakan alasan yang lemah. Padahal, kata Arya, biaya politik tinggi justru karena maraknya mahar politik dalam proses pencalonan.

"Proses pencalonan kita di beberapa tempat masih belum transparan masih adanya mahar politik. Jadi kalau partai bisa membenahi proses pencalonan menjadi transparan, lebih terbuka, itu mungkin biaya di awal jadi berkurang," ujar Arya dalam diskusi di kawasan Jakarta Pusat, Ahad (8/12).

Menurut Arya, biaya politik tinggi bukan karena sistem pilkada langsung, melainkan, praktik mahar politik yang diberikan calon kepala daerah kepada partai politik. Selain biaya politik tinggi, alasan yang muncul agar pilkada dilakukan oleh DPRD karena adanya konflik, dan polarisasi.

Kemudian, alasan mengembalikan pilkada ke DPRD karena pilkada langsung yang dianggap kerap menimbulkan konflik, juga dinilai Arya lemah. Sebab, berdasarkan data yang dikutip dari Kemenko Polhukam, pascareformasi hingga saat ini, konflik yang terjadi di daerah bukan karena konflik politik melainkan konflik yang terjadi akibat pengelolaan sumber daya alam. Arya menyebutkan, tren konflik yang rentan terjadi dalam pilkada menurun pada Pilkada 2018 lalu.

"Ada yang bilang di Papua, tapi itu sangat kecil dari jumlah pilkada yang dilaksanakan. Jadi alasan konflik untuk menolak Pilkada langsung itu juga menurut saya lemah," kata dia.

Selanjutnya, alasan pilkada langsung diganti menjadi tidak langsung karena menimbulkan polarisasi pun dinilai Arya lemah. "Kalau kita lihat sejak 2018 di pilkada maupun di pilkada sebelumnya nyaris polariasi itu secara dominan itu tidak terjadi. Kecuali sangat kentara di Jakarta, tapi di tempat lain pasca Pilkada aman-aman saja. Jadi tetap polarisasi ini bisa dicarikan jalan keluarnya misalnya perbanyak jumlah calon," ungkap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement