REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Ali Yusuf
JAKARTA -- Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Salahuddin Wahid menyatakan keberatan terhadap kabar yang menghendaki pemilihan presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sosok yang akrab disapa Gus Sholah itu menilai, pemilihan presiden (pilpres) sebaiknya tetap secara langsung oleh rakyat.
Sebab, kata dia, pilpres langsung memungkinkan putra-putri terbaik bangsa muncul ke permukaan untuk memimpin Indonesia.
Alih-alih rencana presiden dipilih MPR, dia mengusulkan penghilangan ambang batas pencalonan presiden (//presidential threshold//) yang sebesar 20 persen jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal itu, menurut dia, perlu dilakukan sehingga semua partai dapat mengusung calon masing-masing.
“Untuk (pemilihan) presiden, saya setuju langsung, tetapi tidak ada batasan 20 persen. Setiap partai yang punya wakil di DPR berhak mengajukan calon. Itu berhak, tidak harus,” ujar Gus Sholah, Sabtu (30/11).
Sebelumnya, usulan presiden dipilih MPR dilontarkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj setelah menerima kunjungan Ketua MPR Bambang Soesatyo, Rabu (27/11) lalu.
Saat itu, Kiai Said mengeklaim sudah memperoleh aspirasi dari kiai-kiai Nahdliyin. Pilpres langsung dinilainya memunculkan banyak mudharat, termasuk biaya sosial yang tinggi karena potensi konflik yang sangat mengkhawatirkan.
Gus Sholah meminta Ketua Umum PBNU mengklarifikasi hal tersebut. Dia mengaku, tidak sependapat bila pemilihan presiden oleh MPR dikatakan berdasar pada hasil Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU 2012.
“Menurut saya, munas pun tidak cukup kuat karena masalah ini terlalu besar, terlalu penting, sehingga harus dibicarakan di muktamar. Ini menyangkut kepentingan seluruh rakyat. Tidak boleh dibahas di rapat harian ataupun konferensi besar,” kata pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, itu.
Usulan peniadaan pilpres langsung mencuat seiring wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Wacana tersebut juga memunculkan keinginan dari unsur pimpinan MPR untuk menambah masa jabatan maksimal presiden RI menjadi tiga periode alias 15 tahun.
Menurut pakar hukum tata negara Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof Juanda, penambahan masa jabatan presiden tiga periode kurang tepat. Hal itu menunjukkan adanya sikap yang kurang serius dalam mengurus negara.
“Saya kira, ini kita bermain-main dalam mengurus negara (jika setuju menambah masa jabatan maksimal presiden-–Red),” kata Juanda dalam diskusi bertajuk “Membaca Arah Amendemen UUD 1945” di Jakarta Pusat, Sabtu (30/11).
Dia menjelaskan, jika jabatan presiden menjadi tiga periode, presiden-presiden sebelumnya dapat kembali mencalonkan diri. Sebagai contoh, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan bahkan Kepala Negara Joko Widodo (Jokowi) sendiri berpeluang menjadi presiden untuk periode mendatang. Oleh karena itu, lanjut dia, gagasan itu terkesan bertendensi politik. Namun, Juanda mengaku setuju bila masa jabatan presiden diperpanjang.
“Saya kira, bisa saja (menjadi) tujuh tahun atau delapan tahun (selama) satu periode, misalnya. Kalau memang bisa, tidak usahlah otak-atik masalah jabatan. Tetap dua periode,” ucap dia.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ade Irfan Pulungan berpendapat, masa jabatan maksimal presiden tak perlu diperbanyak menjadi tiga periode. Pilpres 2024 nanti, kata dia, lebih sebagai ajang tampil bagi figur-figur baru, yakni yang belum pernah menjadi presiden RI.
“Cukuplah dua periode, biar ada regenerasi. Kita melihat, (Pilpres) 2024 itu pertarungannya adalah pertarungan orang-orang baru,” kata wakil sekretaris jenderal PPP itu, kemarin.
Ade menambahkan, Indonesia memiliki ratusan juta penduduk. Oleh karena itu, sosok-sosok yang dianggap pantas mencalonkan diri sebagai presiden RI dapat muncul dari mana saja.
“Saya yakin dan percaya itu. Dari 260 juta rakyat Indonesia masa tidak ada? Masa, hanya orang-orang di situ saja yang harus kita pilih?” ujar dia.
(nugroho habibi ed: hasanul rizqa)