Jumat 29 Nov 2019 02:27 WIB

Penunjukan Presiden oleh MPR Kembali ke Era Kegelapan

Elite politik diminta menahan diri agar Indonesia tak kembali ke era kegelapan.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Indira Rezkisari
Muncul wacana penunjukan presiden oleh MPR, mengakhiri praktik pemilihan presiden langsung oleh rakyat.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Muncul wacana penunjukan presiden oleh MPR, mengakhiri praktik pemilihan presiden langsung oleh rakyat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyebut penunjukan presiden oleh MPR akan membawa Indonesia kembali ke era kegelapan. Dia mengatakan, kebijakan itu sangat berpotensi mengulang kembali apa yang terjadi di era orde baru.

"Isu pilpres oleh MPR ini adalah ibarat kotak pandora kita untuk kembali pada era kegelapan orde baru," kata Titi Anggraini kepada Republika di Jakarta, Kamis (28/11).

Baca Juga

Menurut Titi, wacana tersebut tidak hanya akan berhenti hingga penunjukan presiden oleh MPR saja. Sambung dia, bahasan itu kemungkinan akan diteruskan hingga perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Dia mengatakan, alasan-alasan semisal pertimbangan biaya, keutuhan bangsa atau kebutuhan pada figur yang baik hanya akan menjadi pembenaran agar presiden kembali dipilih MPR. Dia mengatakan, pembenaran itu selanjutnya akan menjadi diskursus penghapusan masa jabatan kepala negara.

Menurut Titi, demokrasi Indonesia perlahan telah menjadi rujukan bagi negara-negara lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dia meminta elite politik untuk menahan diri dan tidak membawa tingkat demokrasi bangsa menuju kemunduran.

Dia menegaskan, kebebasan dan partisipasi politik yang ada saat ini mestinya dikelola dengan baik agar berkontribusi positif. Lanjutnya, hal itu pada akhirnya akan menguatkan tata kelola pemerintahan yang baik dan anti korupsi serta benar-benar berorientasi pada pelayanan publik.

"Bukan malah terus membangun narasi melemahkan hak rakyat," katanya.

Titi mengungkapkan, sebenarnya penyelenggaraan Pilpres lebih baik dibandingkan Pileg atau Pilkada. Dari catatan yang ada, dia mengatakan, jumlah pelanggaran mulai dari politik uang hingga kekerasan lebih minim dibanding dua jenis pemilihan lainnya.

Dia mengatakan, demokrasi bukan sekedar alat untuk mencapai tujuan bernegara, tapi merupakan bagian dari tujuan itu sendiri. Dia menegaskan, jaminan kebebasan untuk bersuara dan bisa terlibat dalam kehidupan bernegara itu yang dicari oleh negara otoriter yang kemudian beralih ke demokrasi.

Dia mengatakan, masyarakat saat ini telah mendapatkan kebebasan bersuara sebagai manusia tanpa harus takut atau direpresi oleh elit. Rakyat, dia menambahkan, telah diberi hak untuk menentukan pemimpin yang dikehendaki.

"Kenapa kita harus kembali mundur ingin masuk ke masa lalu," katanya.

Sebelumnya, MPR tengah gencar bersosialisasi dengan sejumlah partai politik hingga tokoh masyarakat dan ulama. Dalam kunjungannya ke PBNU, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, ada enam usulan pokok yang berkembang di masyarakat seputar UUD 45.

Dia mengatakan, pertama, kembali ke UUD asli lalu kemudian disempurnakan. Kedua, kembali ke UUD asli. Ketiga, amandemen terbatas bentuknya haluan negara berdasarkan rekomendasi. Keempat, melakukan penyempurnaan. Kelima, perubahan menyeluruh mulai dari pembukaan, batang tubuh diulangi. Terakhir, tidak perlu amandemen karena masih memadai.

Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid mengatakan, tidak ada politik praktis soal usulan presiden kembali dipilih MPR itu. Menurut dia, PBNU menyerahkan sepenuhnya soal amendemen UUD 1945 terbatas atau menyeluruh dipilih sendiri oleh MPR.

Tapi menurut dia, amendemen tersebut memang sebuah keharusan. Hidayat mengaku akan menampung setiap aspirasi yang disebutkan oleh Kiai Said. Dia mengatakan, MPR masih akan mengumpulkan, mendengarkan, mengkaji aspirasi agar akhirnya dapat dijadikan bahan mempertimbangkan keinginan rakyat Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement