Selasa 26 Nov 2019 06:07 WIB

Guru Tulang Punggung Mutu Pendidikan Nasional

Posisi dan peran guru sebagai tulang punggung pendidikan masih banyak masalah.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memberikan penghargaan kepada sejumlah guru berprestasi saat upacara Peringatan Hari Guru Nasional Tingkat Provinsi Jawa Barat, di lapangan Gasibu, Kota Bandung, Senin (25/11).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memberikan penghargaan kepada sejumlah guru berprestasi saat upacara Peringatan Hari Guru Nasional Tingkat Provinsi Jawa Barat, di lapangan Gasibu, Kota Bandung, Senin (25/11).

REPUBLIKA.CO.ID, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam diutus Allah subhana wata'ala sebagai guru bagi umat manusia. Allah subhana wata'ala mengutusnya untuk mendidik manusia, agar menjadi beradab. (QS 62:2)

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (ss sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Semangat menjadikan pendidikan nasional sebagai tulang punggung mencerdaskan dan membina akhlak mulia sudah sejak lama digaungkan oleh banyak pihak, bahkan sudah menjadi amanah yang dituangkan dalam UUD 1945; Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. (Pasal 31 ayat 3), dan kemudian diatur dalam UU Sisdiknas (20/2003).

Bicara pendidikan, semua sepakat peran guru sebagai pendidik sangat penting dan menjadi faktor utama, faktor penentu kemajuan dan keberhasilan proses pendidikan. UU No 14/2005 tentang guru dan dosen menegaskannya; “Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab” (Pasal 6/UU No. 14/2005).

Artinya, guru menjadi tumpuan utama untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, menjadi faktor penentu dan pemegang peran utama dalam upaya meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, seharusnya pemerintah dan kita semua memberi perhatian yang serius dan sungguh-sungguh terhadap profesi guru. Lalu bagaimana kenyataannya?

Posisi dan peran guru sebagai tulang punggung pendidikan masih banyak masalah. Dari sisi jumlah, Indonesia masih kekurangan 1,1 juta guru (versi PGRI), atau 870 ribu orang per 31 Desember 2018 (versi Dirjen Pendidik & Tenaga Kependidikan, Kemendikbud). Bukan hanya kekurangan guru, Indonesia mengalami salah urus tata kelola distribusi guru.

Satu sekolah, satu kecamatan, atau satu kabupaten/kota kelebihan guru, sementara yang lainnya kekurangan guru. Perekrutan, penempatan, dan mutasi guru perlu ditata dengan lebih baik lagi. Belum lagi persoalan guru honorer, jumlah tenaga guru honorer K2 saat ini mencapai 1,53 juta orang, dari jumlah guru keseluruhan sebanyak 3,2 juta orang. Lebih jauh, persolan kompetensi mereka juga masih jauh dari harapan, terlebih lagi di era zaman digital, yang tak terhindarkan juga akan menjadi tuntutan literasi dan kompetensi bagi para guru.

Profesi guru belum mendapatkan posisi yang bermartabat. Penghargaan material (kompensasi dalam bentuk gaji, tunjangan, insentif, dan sebagainya) masih harus ditingkatkan. Masyarakat juga belum sepenuhnya memposisikan guru sebagai profesi yang terhormat dan bermartabat. Akibatnya, profesi guru belum menjadi daya pikat bagi putra-putri yang berbakat, pintar dan memiliki semangat.

Sudah menjadi opini umum, peminatan lulusan SMA untuk melanjutkan studi ke LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) umumnya hanya pilihan ke tiga atau ke empat, atau LPTK hanya menjadi pilihan pertama bagi calon mahasiswa yang sulit bersaing masuk ke PT lainnya yang dianggap lebih favorit. Artinya, sejak awal pola perekrutan guru yang mengandalkan LPTK, menjadi salah satu sebab bermasalahya kualitas guru kita. Belum lagi, jumlah dan mutu LPTK yang juga sarat masalah.

Menurut satu sumber dari 421 Lembaga LPTK yang beroperasi, hanya 18 LPTK yang terakreditas A, yang terakreditasi B sebanyak 81 LPTK, sisanya sebanyak 322 LPTK akreditasnya di bawah B yang berarti kualitas penyelenggaraannya tidak memadai sebagai lembaga pendidikan yang mencetak calon guru.

Pemerintah kemudian membuat kebijakan sertifikasi, sebagaimana amanat UU, dalam rangka memastikan guru-guru yang akan mengajar, memiliki kemampuan yang cukup. Dari data di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sampai Maret 2019 sebanyak 1.174.377 guru PNS dan 217.778 guru non-PNS sudah tersertifikasi; dari jumlah 3.017.296 guru di Indonesia.

Masih banyak guru-guru yang mengajar, tapi belum bersertifikat. Dengan sekian banyak masalah guru, sebagai tulang punggung mutu pendidikan nasional, maka menjadi tidak aneh, apabila kemudian kita temukan dan dapatkan berbagai potret buram wajah pendidikan nasional kita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement