Ahad 24 Nov 2019 21:38 WIB

Anak Penderita HIV/AIDS Terus Bertambah

Kasus HIV/AIDS anak pada Januari hingga September 2019, berjumlah 1.203 kasus.

Rep: Selamat Ginting/ Red: Joko Sadewo
HIV/AIDS. Ilustrasi
Foto: .
HIV/AIDS. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumlah anak yang menderita HIV/AIDS di Indonesia semakin bertambah. Data Kementerian Kesehatan, jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari Januari sampai Juni 2019 berada pada angka 22.600. Penderita terbanyak berada pada usia 25-49 tahun dengan jumlah 16.030.

“Kasus anak dengan HIV yang dilaporkan dari Januari hingga September 2019, berjumlah 1.203 kasus,” kata Deputi bidang Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nahar di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Jumat (22/11) lalu.

Menurut Nahar, kasus AIDS yang dilaporkan dari Januari hingga Juni 2019 berjumlah 2.912. Penderita terbanyak, hampir 35% di antaranya, berada pada rentang usia 30-39 tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 4% atau 121 kasus diderita anak.

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang merusak sistem kekebalan tubuh dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4 (cluster of differentiation 4) atau klaster diferiansiasi 4. Semakin banyak sel CD4 yang dihancurkan, kekebalan tubuh akan semakin lemah, sehingga rentan diserang berbagai penyakit. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah stadium akhir dari inveksi pada virus HIV. Pada tahap ini, kemampuan tubuh untuk melawan infeksi sudah hilang sepenuhnya.

Nahar menjelaskan, masih banyak masyarakat, termasuk anak dengan HIV yang belum mengetahui status HIV-nya, sehingga belum mendapatkan akses layanan. Data UNAIDS (PBB untuk AIDS) 2018, baru 51% orang dengan HIV di Indonesia yang mengetahui statusnya dan baru 17% mendapatkan layanan. Sementara itu, hanya 22% anak usia 0-14 tahun dengan HIV mendapatkan layanan.

Tidak hanya pada orang dewasa saja, lanjut Deputi Perlindungan Anak KPPA, namun juga pada usia anak. Berdasarkan data dari UNAIDS, kematian yang berkaitan dengan AIDS telah meningkat sampai 60% sejak 2010 hingga 2018. Dari 24.000 menjadi 38.000 kematian di Indonesia.

Stigma

Dikemukakan, stigma menjadi masalah yang masih sangat besar di Indonesia. Masih banyak masyarakat yang belum memahami penularan HIV, sehingga cenderung menjauhi ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS).

Adapun risiko tidak terpenuhinya hak-hak Anak dengan HIV-AIDS (ADHA), sangat tinggi, karena masalah stigmatisasi ini. Misalnya, lanjut Nahar, kasus ADHA di Samosir dan Surakarta yang sempat dikeluarkan dari sekolah karena mengidap HIV-AIDS.

“Stigma juga menjadi salah satu alasan mengapa ODHA tidak melakukan pemeriksaan dan tidak menjangkau layanan,” ujar Nahar dalam sambutan tertulis yang dibacakan Kepala Bidang Perlindungan Anak KPPPA, Sumbono.

Acara diskusi publik bertema ‘Kilau Generasi Bebas HIV-AIDS dan Napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya)’ itu, Kementerian PPPA mengingatkan tentang peringatan 30 tahun Konvensi Hak Anak (KHA) pada 20 November. Sekaligus memperingati Hari AIDS Se-Dunia pada 1 Desember mendatang.

Perlindungan khusus

Deputi Perlindungan Anak KPPPA menjelaskan, anak-anak korban HIV-AIDS dan NAPZA diamanatkan untuk diberikan perlindungan khusus oleh pemerintah, termasuk pemerintah daerah dan lembaga negara lainnya. Hal itu berdasarkan Pasal (59) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Dikemukakan, banyak hal yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dari segi pencegahan sampai dengan penanganan. Termasuk penyediaan obat ARV (antiretroviral) secara gratis. Walaupun demikian, Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak dapat bekerja sendiri.

Pada Pasal (20) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, ditekankan peran dari masyarakat, keluarga, orangtua dan wali dalam perlindungan anak.

Peran masyarakat dan komunitas sangat penting sehingga diangkat menjadi tema hari AIDS sedunia pada tahun 2019, yaitu: communities make the difference atau masyarakat yang membuat perubahan. “Mencapai target dunia terkait HIV-AIDS, tidak akan mungkin tercapai tanpa adanya sinergi bersama antara pemerintah dan masyarakat,” ujar Nahar.

Paket narkoba

Di sisi lain, Nahar juga mengungkapkan, sulit membicarakan HIV-AIDS tanpa membicarakan NAPZA. Data dari Kementerian Kesehatan pada Januari-Juni 2019 menggambarkan, faktor risiko penularan paling banyak melalui penasun (pengguna napza suntik) mencapai 56%. Kemudian LSL (lelaki seks dengan lelaki) sekitar 18%,.  Heteroseksual sekitar 17%, dan lain-lain sekitar 8%. Selanjutnya, penularan tidak diketahui (1%).

Data World Drugs Report 2018 dari UNODC menunjukkan, 5,6 persen penduduk dunia yang berusia antara 15 sampai dengan 64 tahun, pernah mencoba narkoba setidaknya sekali seumur hidup.

Badan Narkotika Nasional (BNN) juga menyebut Indonesia darurat narkoba. Data hasil survei BNN tahun 2017, penyalahgunaan NAPZA di Indonesia sebanyak 3,5 juta orang. Dari jumlah itu, 1,4 juta adalah pencandu NAPZA. Kematian karena narkoba setiap tahunnya sekitar 12.000 orang. Selanjutnya, pelajar pengguna NAPZA sebanyak 24%.

“Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah HIV-AIDS, diperlukan pula usaha-usaha dalam menyelesaikan masalah NAPZA,” kata mantan Direktur Rehabilitasi sosial Anak, Kementerian Sosial.

Ia mengakui pemerintah masih belum dapat memenuhi janji untuk melindungi hak semua anak, di mana pun, untuk bebas dari diskriminasi, kekerasan, dan penelantaran. Janji ini disampaikan pada saat pemerintah menandatangani dan mengesahkan Konvensi Hak-hak Anak (KHA) pada 1990.

Dengan disahkannya KHA, setidaknya setiap anak memiliki empat hak. Pertama, hak untuk diperlakukan dengan bermartabat dan hormat. Kedua; hak untuk dirawat, dikembangkan dan menjadi bagian dari komunitas mereka.

Ketiga; hak atas pendidikan, untuk mengekspresikan pendapat mereka sendiri dan untuk berpartisipasi dalam keputusan yang menyangkut mereka. Keempat; hak untuk dilindungi terhadap semua kekerasan dan diskriminasi, di mana pun mereka tinggal, terlepas dari asal etnis atau sosial, disabilitas, kelahiran, atau status lainnya.

Diskusi publik juga menghadirkan nara sumber dari Kabupaten Sumba Timur, yakni dari Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, serta Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana. Selain itu juga dari BNN Provinsi NTT, serta Yayasan Bahtera Bandung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement