Rabu 13 Nov 2019 05:05 WIB

Listrik 'Indie' dan Gerakan Warga Kumuh di Penas

Lima warga sudah berhenti total merokok dan puluhan lainnya mulai mengurangi rokok.

Rep: Antara/ Red: Bilal Ramadhan
Warga melintas didekat mural kampung warna-warni tanpa rokok di Jakarta, Rabu (6/11/2019).
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Warga melintas didekat mural kampung warna-warni tanpa rokok di Jakarta, Rabu (6/11/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Nobby (25 tahun) adalah salah satu pemuda buta warna yang menggenggam mimpi besar menjadi pakar energi alternatif. Berbekal kemampuan teknik elektro, dia membawa peradaban baru di kawasan kumuh Penas Tanggul.

"Saya punya niat menjadikan sungai ini sumber listrik untuk warga. Sekarang saya lagi coba merakit 'solar cell' untuk energi alternatif warga di kampung ini," ujar Nobby saat membuka perbincangan di teras rumah yang menghadap ke Kali Cipinang.

Panel pembangkit listrik tenaga surya bekas didapat Nobby dari tempat pembuangan, kemudian dirakit dan dipasangi aki. Sang ayah, Sail Andi Supu (57 tahun), menjadi orang pertama pengguna solar cell di antara 60 rumah tetangganya di Penas Tanggul.

Buah tangan putranya itu mampu menghemat pengeluaran rutin listrik hingga Rp 60 ribu per bulan untuk menerangi warung kelontong dan sejumlah perabot elektrik di rumahnya dengan jaminan masa pakai tiga tahun ke depan.

Lahir sebagai anak tunggal dari rahim keluarga berekonomi lemah, Anindya Afifa, Nobby ikut jejak sang ibu berkuliah di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) lewat Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada 2016.

Pada September 2018, Nobby Sail Andi Supu dinyatakan lulus Strata 1 dengan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) yang terpaut 0,45 dari capaian nilai sempurna. Tapi, peluang kerja menjadi pegawai di Perusahaan Listrik Negara (PLN), Kereta Api Indonesia (KAI), dan perusahaan swasta, seluruhnya kandas ketika seleksi terkait tes buta warna. Pun, saat ia mencoba peruntungan dalam tes calon pegawai negeri sipil (CPNS).

Ada dua pilihan bagi Nobby saat dihadapkan pada keterbatasan, menyerah atau berjuang mengatasinya. Nobby memilih yang kedua. Ketidakmampuan untuk membedakan warna merah dan hijau seakan membuka jalan baginya berkiprah untuk mengangkat derajat 350-an warga di kampung halamannya.

Hingga tiga tahun lalu, kawasan Penas Tanggul di Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Jakarta Timur, hanyalah lingkungan kumuh yang menempati lahan eks garapan. Sejak diberangkatkan oleh Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) untuk studi banding ke Kali Code, Yogyakarta, pada 2017, Nobby dipercaya menjadi motor penggerak perubahan di Penas Tanggul.

Pada 10 Juni 2017, kawasan berpopulasi 350 jiwa di RT 015 RW 02, Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Jakarta Timur, itu mulai bersolek melalui peran swadaya warga. Kampung Warna-Warni Tanpa Rokok, demikian sebutan bagi tempat tinggal 73 kepala keluarga yang mayoritas berekonomi lemah. Separuhnya putra daerah, sisanya pendatang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.

"Kita patungan satu warga ada yang Rp 20 ribu sampai Rp 200 ribu untuk beli cat. Kita juga bikin pagar di tepi kali sepanjang 200 meter. Konsepnya mirip dengan Kali Code," tutur dia.

Tak kurang dari 60 unit bangunan aneka warna berderet memanjang di atas rata-rata lahan 4x7 meter persegi menghadap ke Kali Cipinang. Bagian depan rumah dicor jalan setapak di atas kontur tanah tepian kali. Kesan kumuh seakan hilang sejak warga aktif menanam di depan rumah mereka. Kehadiran pohon-pohon berdaun hijau menghiasi Penas Tanggul.

Meski belum menjulang tinggi, bagian batang di tepian kali mulai memperlihatkan daun-daunnya yang kian hari semakin menghijau. Sungai Cipinang yang dibatasi pagar besi memanjang 200 meter buatan warga, tampak bersih dari sampah.

Masyarakat sekitar seakan telah sadar akan ancaman bencana dari kerusakan lingkungan. Berjarak selemparan batu dari Penas Tanggul, berdiri lapangan futsal sebagai ruang publik yang dibangun dari uang warga.

Aturan tanpa rokok di Penas Tanggul berlaku seiring deklarasi Kampung Warna-Warni. Kali ini bukan perkara mudah bagi Nobby membuat pecandu rokok di kampung itu berhenti dari kebiasaan. Kaum ibu pun dikerahkan untuk menegur suami mereka yang perokok untuk menghindari konflik antarwarga.

Awalnya, larangan hanya berlaku di dalam rumah untuk melindungi keluarga dari risiko berbahaya bagi kesehatan. Larangan pun ditingkatkan secara bertahap. "Di luar rumah bisa, tapi ada dendanya Rp 20 ribu kalau ada yang ketahuan. Dendanya masuk kas RT untuk pembangunan sarana-prasarana kampung," kata dia memaparkan.

Berkat konsistensi yang berlangsung selama dua tahun, Penas Tanggul berhak atas pengakuan Komnas Pengendalian Tembakau RI di bawah Kementerian Kesehatan sebagai agen perubahan dalam pengendalian tembakau di Indonesia pada 2018. Lima orang perokok berhenti total dari kebiasaannya serta puluhan lainnya mulai mengurangi konsumsi merokok.

"Kami bisa buktikan bahwa permukiman di bantaran kali bisa terlihat indah dan asri serta jauh dari kesan kumuh. Kita juga beberapa kali terima warga dari daerah lain yang studi banding ke sini," ujar Nobby.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement