REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pemerintah provinsi (Pemprov) Jawa Barat memastikan di daerahnya tidak ada desa fiktif seperti yang disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani. Ungkapan tersebut dinyatakan Menkeu terkait dengan anggaran dana desa yang dianggap masuk ke desa fiktif.
Menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPM-Desa) Jawa Barat Dedi Supandi, sejak undang-undang mengenai dana desa diterbitkan, yaitu PP 8/2016 tentang Perubahan Kedua atas PP 60/2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN, belum pernah ada pemekaran desa baru. Saat ini jumlah desa di Jabar mencapai 5.312.
"Kita di Jabar sudah melakukan pendataan sebelum ada UU Desa. Dan sejak UU Desa ini disahkan, hingga sekarang belum ada lagi pemekaran desa di Jabar," ujar Dedi kepada wartawan, Selasa (12/11).
Dedi mengatakan, karena tidak ada pemekaran, maka tidak ada yang namanya desa fiktif di Jabar yang dibuat untuk meraup dana desa dari pemerintah pusat. Bahkan, jumlah desa di Jabar bukannya bertambah justru berkurang dengan adanya pembangunan Waduk Jatiluhur di Kabupaten Sumedang.
Hal itu karena, kata dia, dari pembangunan waduk ini terdapat enam desa yang harus dipindahkan kemudian akhirnya hilang. Sebelumnya jumlah desa di Sumedang mencapai 276, dan sekarang hanya ada 270.
"Ini juga menunjukan di Jabar ini tidak ada desa hantu, karena yang ada juga desa hilang," kata Dedi.
Untuk anggaran dana desa di Jabar, kata dia, tahun ini total dana yang masuk ke desa mencapai Rp 5,7 triliun. Dana tersebut terbagi dalam tiga tahap. Saat ini, mayoritas desa tengah mencairkan tahap ketiga. Memang, masih ada desa yang belum bisa mendapat sisa dana karena laporan pertanggungjawaban pada pencarian tahap kedua belum rampung.
Dedi mengatakan, dana desa selama ini dimanfaatkan untuk dua sektor yakni, untuk meningkatkan aktivitas perekonomian dan kualitas hidup masyarakat. Untuk aktivitas yang menunjang perekonomian, ada desa yang menggunakan dana ini membangun jalan pedesaan, pasar, kemudian pendanaan BUMdes, membangun embung, irigasi, hingga sarana olahraga.
Sedangkan untuk meningkatkan kualitas hidup, kata dia, masyarakat desa berupaya membangun penanggul tanah di daerah rawan longsor, penyediaan air bersih, membangun tempat MCK, Poliklinik Desa, perbaikan drainase, membangun PAUD, sampai Posyandu.
Dana desa, kata Dedi, setiap tahunnya kian memberikan dampak positif bagi kehidupan di pedesan. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana pun terus ditingkatkan.
"Kita terus membangun Polindes dan MCK yang memang dibutuhkan warga. Tahun ini saja target membangun MCK mencapai 596 unit," katanya.
Dengan anggaran yang terus meningkat, kata dia, masyarakat desa pun kian masif melakukan pembangunan infrastruktur yang bisa menunjang aktivitas keseharian. Termasuk, yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat desa tersebut.
Saat ini, kata dia, ada beberapa desa yang melakukan kegiatan tambahan dari dana desa untum meningkatkan perekonomian. Misalnya, dengan mengajukan pembangunan listrik, tempat pembuangan sampah, sampai tempat penjemuran padi.
"Nah sekarang ini semakin banyak meningkat ke pembangunan wisata desa," katanya.
Selama ini, kata dia, pemerintah provinsi juga menyediakan anggaran untuk pembangunan desa. Angka ketimpangan kesejahteraan di desa dan kota yang cukup tinggi harus dipersempit dengan pembangunan di desa yang lebih masif.
Di era digital sekarang, kata dia, Pemprov Jabar berupaya membangun ketersediaan nirkabel (wireless) yang menjangkau hingga ke pedesaan. Harapannya masyarakat desa pun bisa mendapat banyak informasi melalui internet.
"Tahun ini juga seluruh desa menerima bantuan keuangan yang ada untuk aparatur, ada juga untuk bangun infrastruktur," katanya.
Pada 2019, kata dia, setiap desa di Jabar mendapat kucuran dana Rp 127 juta. Pemanfaatannya, ada untuk membangun jalan di sekitar lingkungan atau pemberdayaan lainnya. Selain anggaran yang sama antardesa, Pemprov Jabar juga memberikan dana lebih untuk desa yang ada di perbatasan. Seperti desa perbatasan antara Jabar dan Jateng, Jabar dengan DKI Jakarta, atau Jabar dengan Banten. Jumlah desa tersebut mencapai 80.
Untuk dana tiap desa di perbatasan tersebut, kata Dedi, berbeda sesuai dengan kebutuhan desa masing-masing. Anggaran itu dikucurkan karena kerap ada anggapan pemerintah daerah tidak memedulikan kawasan yang ada di perbatasan.
"Kita justru berharap mereka jadi muka Provinsi Jabar. Anggaran beda-beda tergantung pengajuan desa, yang rata-rata ini lebih ke pembangunan jalan," katanya.
Dengan dana desa yang terbilang besar, menurut Dedi, pihaknya telah berkoordinasi dengan komisi pemberantasan korupsi (KPK) untuk ikut mengawasi penggunaan dana tersebut. Pengawasan tersebut penting agar dana yang dialokasikan untuk perbaikan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat desa dipakai dengan benar.
Selain itu, kata dia, Pemprov Jabar pun telah mengimbau agar penggunaan anggaran dalam bentuk apapun dilakukan secara nontunai. Hal itu untuk menghindari berbagai kemungkinan penyalahgunaan dana, maupun aksi perampasan atau pencurian uang.
"Kan banyak modus sekarang digunakan misal mencuri pas kita ambil uang dari bank, atau saat proses penyerahan pembayaran," katanya.
Dedi berharap dengan banyaknya dana untuk membangun desa, maka ketimpangan antara desa dan kota bisa semakin kecil.