REPUBLIKA.CO.ID,MALANG -- Wali Kota Malang, Sutiaji mendorong sejumlah pihak untuk menyelesaikan masalah sampah di daerahnya. Problematika tersebut harus diatasi dengan langkah penanganan dan pengelolaan terpadu.
Sutiaji menjelaskan, produksi sampah Kota Malang sangat tinggi. Setiap hari Kota Malang setidaknya menghasilkan 600 ton sampah dari berbagai sumber. Menurutnya, hal ini perlu diperhatikan lebih serius ke depannya.
"Ke depan volume sampah akan semakin tinggi dan pasti jadi masalah tersendiri kalau tidak ada langkah penanganan dan pengelolaan secara terpadu," ujar Sutiaji dalam keterangan pers yang diterima Republika, Senin (11/11).
Untuk menghadapi masalah tersebut, maka Kota Malang perlu membangun dan melakukan edukasi secara terus menerus tentang budaya bersih. Melakukan langkah pemilahan jenis sampah yang dimulai dari tingkat rumah tangga. Lalu tertib waktu pengambilan sampah dan tidak berperilaku membuang sampah tidak pada tempatnya.
Sutiaji mendorong Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Malang untuk menguatkan secara terus menerus model Tempat Pembuangan Akhir (TPA) bersistem penguraian (usefull system). Hal ini berarti tidak boleh ada lagi pola sampah ditumpuk maupun ditimbun. "Begitu terus terusan dan berganti dengan mendaur atau menjadikan sampah itu sebagai energi yang terbarukan (terurai)," tambahnya.
Kepala DLH Kota Malang, Rinawati menjelaskan, pihaknya tengah melakukan proyek sanitary landfill di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Supit Urang. Program ini setidaknya sudah berjalan lebih dari satu tahun. Proyek yang membuat himpunan sampah lebih ramah lingkungan ini dicanangkan selesai akhir 2019.
Menurut Rinawati, proyek sanitary landfill ini telah menelan biaya sekitar Rp 195 miliar. Program ini merupakan sumbangan dari perusahaan Jerman dan Kemen PUPR. Meski telah menetapkan program ini, Rinawati mengaku, pengolahan 600 ton sampah setiap harinya belum menunjukkan hasil siginifikan.
"Artinya, sebagaimana dipesankan Bapak Walikota, pola pemilahan sejak di tingkat rumah tangga tetap harus didorong. Tidak bisa semua ditumpuhkan ke sini (TPA). Karenanya terus kita hidupkan Pusat Daur Sampah, rumah komposting dan juga Bank Sampah Malang," tegas Rinawati.
Berdasarkan aturan pemerintah, sanitary landfill itu aman bagi lingkungan. Sebab, program ini menerapkan teknologi pencegahan pencemaran. Caranya dengan penimbunan dan pengelolaan air lindi (leachate) serta penangkapan gas methan yang bisa dimanfaatkan untuk sumber energi.
Mantan Kabag Perekonomian ini menerangkan, penerapan teknologi sanitary landfill dilaksanakan dengan beberapa lapisan. Beberapa di antaranya meliputi penyiapan dan pelapisan lahan pembuangan (sel aktif) TPA. Hal ini biasanya menggunakan tiga lapis penutup tanah seluas kurang lebih delapan hektare (ha).
Menurut Rinawati, jenis lapisan penutup pertama (lapisan paling bawah) berupa bahan gel sintetis setebal kurang lebih satu centimeter (cm). Bagian ini bertugas menahan kebocoran air lindi agar tidak mencemari tanah.
Lapisan kedua dan ketiga berupa karpet sintetis khusus berserat kasar. Seluruh bahan pelapis ini merupakan bahan berkualitas tinggi. Sebab, bahan khusus ini didatangkan langsung dari Jerman.
Selanjutnya, lapisan di atas hamparan karpet pelapis berupa batu koral dengan diameter dua cm. Bagian ini ditumpuk dengan rata setinggi kurang lebih 50 cm. Lapisan tersebut berfungsi sebagai bahan penyaring air lindi sehingga akan merembes di antara bebatuan.
"Di atas tumpukan batuan tersebut, sampah ditaruh dan ditumpuk, diratakan, dan ditimbun tanah setiap ketinggian tanah satu hingga dua meter agar mencegah dihinggapi lalat dan juga dapat mencegah terjadinya kebakaran," ujar Rinawati.
Untuk air lindi ditampung dan disalurkan ke kolam penampungan pengolahan lindi (IPAL/Instalasi Pengolahan Air Limbah). Aspek ini menggunakan sistem pemurnian bertahap dan dilengkapi bak kontrol. Sementara gas methan ditangkap menggunakan pipa agar bisa digunakan sebagai sumber energi.