REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) meminta pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan dana desa menyusul munculnya fenomena desa fiktif. Evaluasi bukan hanya terkait daya serap atau realisasi anggaran, melainkan dampak jangka panjangnya dana desa terhadap pemberdayaan dan kemandirian desa.
"Bukan lagi semata daya serapnya atau realisasi anggarannya, itu namanya kita tukang belanja tanpa melihat apa dampaknya," ujar Direktur Eksekutif (KPPOD) Robert Endi Jaweng saat dihubungi, Rabu (6/11).
Ia mengatakan, seharusnya dana desa memberikan pengaruh jangka panjang terhadap sisi pemberdayaan dan kemandirian desa. Sehingga tumbuh menjadi desa mandiri dan inovatif yang tidak akan bergantung lagi pada dana yang diberikan pemerintah pusat.
Dengan demikian, penggunaan dana desa itu memiliki target dampak yang signifikan terhadap kemajuan desa dan meningkatkan kesejahteraan warga. Bukan justru jumlah desa bertambah karena menginginkan dana desa yang nilainya cukup besar.
"Saya berharap lima tahun lagi kita enggak akan terlalu bicara banyak tentang dana desa, tapi perlu banyak bicara tentang ekonomi yang tumbuh, yang luar biasa di desa. Itu yang harus," kata Robert.
Ia menuturkan, terkait fenomena desa fiktif yang hanya menginginkan dana desa, diperlukan koordinasi antarkementerian terkait. Kementerian Dalam Negeri yang memiliki daftar kode wilayah atas desa itu harus duduk bersama Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Kementerian Keuangan sebagai pihak yang menyalurkan dananya.
Selain itu, menurutnya, kalau memang sejauh ini informasinya sudah ketahuan peta kabupaten/kota bahkan provinsi tertentu yang terdapat desa fiktif harus dipanggil. Bila perlu verifikasi lapangan, bukan sekedar menghentikan alokasi anggaran.
"Pertanggungjawaban kenapa selama ini muncul usulan-usulan dana desa desa hantu. Itu yang harus dilakukan kemudian ke depan," tutur Robert.