Kamis 07 Nov 2019 00:16 WIB

Dituntut 7 Tahun Penjara, Bowo Sidik: Sangat tidak Fair

Bowo Sidik juga dituntut denda Rp 300 juta dan dihapus hak berpolitiknya.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Terdakwa kasus dugaan suap distribusi pupuk Bowo Sidik Pangarso bersalaman dengan Jaksa Penuntut Umum KPK usai menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (6/11).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Terdakwa kasus dugaan suap distribusi pupuk Bowo Sidik Pangarso bersalaman dengan Jaksa Penuntut Umum KPK usai menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (6/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Terdakwa pidana suap dan gratifikasi, Bowo Sidik Pangarso merasa tuntutan penjara 7 tahun penjara terhadapnya tidak adil. Menurut dia, seharusnya tuntutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih ringan.

Politikus dari Partai Golkar itu mengatakan, dirinya sudah berbicara jujur selama persidangan. Ia pun sudah membeberkan semua nama dan sumber dana haram yang ia dapatkan terkait kasusnya itu.

Baca Juga

“Saya sudah mengatakan apa adanya (tentang) sumber dana dari mana. Itu sudah saya katakan, a,b,c,d, saya katakan,” ujar Bowo usai sidang pembacaan tuntutan di PN Tipikor Jakarta, Rabu (6/11).

“Ini sangat tidak fair. Tujuh tahun ini saya pikir sangat tidak fair,” sambung Bowo.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Bowo dengan penjara selama 7 tahun, dan denda Rp 300 juta subsider kurungan enam bulan. JPU KPK juga meminta Majelis Hakim menghapus hak politik Bowo selama lima tahun.

Tuntutan itu dibacakan JPU KPK dalam sidang terbuka di PN Tipikor Jakarta, Rabu (6/11). KPK menebalkan dakwaan berlapis kepada Bowo, dengan sangkaan suap dan gratifikasi yang jika ditotal mencapai sekitar Rp 11,5 miliar. JPU KPK menuntut Bowo dengan sangkaan Pasal 12 huruf b UU 31/1999 perubahan UU 20/2001 Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana, dan Pasal 12 B UU 31/1999 j.o. Pasal 65 KUH Pidana.

Usai persidangan, Bowo melanjutkan sejumlah nama pemberi uang haram kepadanya, sudah terucap di persidangan. Bowo mencontohkan seperti sumber dana sekitar 700 dolar Singapura, dan Rp 600 juta yang berasal dari Mendag Enggartiasto, Nasir, dan perempuan bernama Jessica.

Sejumlah uang senilai 200 ribu dolar Singapura, terkait proyek di PT PLN, pun ia ungkapkan terkait dengan nama Sofyan Basir, dan 250 ribu dolar Singapura, pemberian Bupati Minahasa Selatan Christiany Eugenia Paruntu.

Nama-nama tersebut, kata Bowo, juga ia sebutkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Saat persidangan, kata Bowo, ia meminta JPU KPK memeriksa dan memanggil nama-nama tersebut untuk dijadikan saksi saat persidangan. Akan tetapi, sejumlah nama yang ia sebutkan, tak pernah diperiksa, pun tak berhasil JPU KPK hadirkan saat persidangan.

“Saya sangat kecewa sekali. Saya sangat kecewa,” ujar dia.

Menyebutkan nama-nama tersebut dalam BAP, dan menjadi saksi dalam persidangan memang dapat memberikan keringanan bagi Bowo karena bersikap kooperatif dan jujur.  Akan tetapi, memang sampai hari ini, JPU pun KPK tak pernah berhasil memanggil untuk memeriksa dan menjadikan saksi-saksi sejumlah nama penting.

Contohnya seperti Mendag Enggar dan Nasir. Kedua nama tersebut, sudah lebih dari tiga kali dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi di KPK, pun menjadi saksi dalam persidangan Bowo. Tetapi, kerap mangkir.

“Padahal sudah saya sebut semuanya. Nama-nama saya sebut,” sambung dia.

Dari pengungkapan nama-nama tersebut Bowo mengaku sempat mendapat ancaman dan tekanan agar keterangan penyebutan nama-nama tersebut dicabut. Namun Bowo menegaskan, tak akan mencabut keterangannya di BAP, pun saat persidangan.

“Tidak. Saya diminta penyidik untuk tetap konsisten dengan BAP saya. Ya saya siap. Saya sebutkan semua. Enggar, saya sebut. Sofyan Basir. Nasir, semua saya sebut. Itu faktanya,” ujar dia.

Akan tetapi, pengungkapan nama-nama tersebut, kata Bowo tak membuat ancaman terhadapnya menjadi ringan. “Saya tidak tahu lagi. Saya pasrahkan kepada Allah,” ujar dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement