Rabu 06 Nov 2019 15:43 WIB

Fenomena Desa Fiktif, Jokowi: Mengelola Indonesia tak Mudah

Fenomena Desa Fiktif, Jokowi: Mengelola Indonesia tak Mudah

Presiden Joko Widodo memberikan sambutan pada pembukaan kegiatan Indonesia Banking Expo 2019 di Jakarta, Rabu (6/11).
Foto: Republika/Prayogi
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan pada pembukaan kegiatan Indonesia Banking Expo 2019 di Jakarta, Rabu (6/11).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Adinda Pryanka, Flori Sidebang, Ronggo Astungkoro

Fenomena adanya desa fiktif yang mendapat bantuan dana desa dari pemerintah pusat akhirnya disinggung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden meminta jajarannya agar mengungkap keberadaan desa yang diduga fiktif.

Baca Juga

"Tetap kita kejar agar yang namanya desa-desa tadi diperkirakan, diduga itu fiktif ketemu, ketangkep yah," ujar Jokowi di JIE-Kemayoran, Rabu (6/11).

Ia pun berpendapat, istilah desa fiktif atau desa siluman bisa saja terjadi, mengingat negara harus mengelola 74.800 desa di seluruh Indonesia. Jokowi menyebut, mengelola negara sebesar Indonesia tidaklah mudah.

"Tetapi, kalau informasi benar ada desa siluman itu mungkin hanya desanya hanya pakai plang, tapi desanya nggak (ada) bisa saja terjadi. Karena, sekali lagi, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote adalah sebuah pengelolaan yang tidak mudah," kata dia.

Fenomena desa fiktif sebelumnya diungkap oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Menurut Sri, pemerintah akan melakukan verifikasi ke lapangan karena dilaporkan masih banyaknya desa tertinggal saat anggaran dana desa dari pemerintah pusat terus meningkat dari tahun ke tahun.

Sri mengatakan, saat ini, setidaknya masih ada 20 ribu desa yang masuk dalam kategori tertinggal. Berdasarkan banyak masukan dari berbagai pihak, penyebabnya adalah bermunculannya desa fiktif.

"Sekarang, muncul desa-desa baru yang bahkan tidak ada penduduknya," ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di gedung DPR, Jakarta, Senin (4/11).

Desa fiktif tersebut muncul hanya untuk mendapatkan dana desa yang sudah rutin dianggarkan pemerintah pusat setiap tahun sejak 2015. Anggarannya pun terus meningkat dari waktu ke waktu, yaitu dari Rp 47 triliun pada 2016 menjadi Rp 70 triliun tahun ini.

Mengutip data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), setidaknya terdapat 74.579 desa di Indonesia pada tahun ini. Dengan pagu anggaran dana desa dalam APBN 2019 sebesar Rp 70 triliun, artinya tiap desa mendapatkan rata-rata Rp 938 juta pada 2019.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, pemerintah sudah membuat anggaran lebih besar untuk dana desa, yakni Rp 72 triliun. Dengan besarnya anggaran ini, Sri berharap, kementerian/lembaga terkait untuk bersama-sama melakukan tindakan pengawasan lebih ketat.

"Kita juga ingin melakukan verifikasi terhadap munculnya fenomena tersebut," tutur Sri.

Sri menyebutkan, pihaknya baru mendengar fenomena desa fiktif setelah pembentukan Kabinet Indonesia Maju pada dua pekan lalu. Ia memastikan, pemerintah, terutama melalui Kementerian Dalam Negeri, akan segera melakukan investigasi.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, pihaknya telah menurunkan tim gabungan untuk mengecek isu empat desa fiktif di Sulawesi Tenggara (Sultra) yang selama ini diduga menikmati uang dari program dana desa. Tito menyebut, tim itu terdiri dari Pemprov dan Polda Sulawesi Tenggara.

"Sudah, tim kita sudah bergerak ke sana bersama pemerintah provinsi dan ada empat (desa) ya, bersama dengan kapolda Sultra" kata Tito kepada Wartawan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Rabu (6/11).

Tito menuturkan, selama ini mekanisme yang dilakukan adalah menyerahkan sepenuhnya kepada provinsi untuk menangani persoalan tersebut. Sebab, kata dia, Kemendagri tidak memiliki personel untuk mengecek langsung ke lapangan.

"Kita tidak memiliki tangan langsung dari Mendagri yang harus mengecek 70 ribu desa di Indonesia. Jadi, kita sudah membentuk tim bekerja sama provinsi, tim gabungan bergabung dengan Polda Sultra," ungkap dia.

Ia menjelaskan, setelah tim gabungan tersebut melakukan pengecekan, bila memang terbukti desa itu fiktif, selanjutnya akan dilakukan proses hukum.

"Kalau itu fiktif dan ada anggaran dipakai padahal enggak ada desanya proses hukum intinya tindak pidana korupsi. Kalau nanti ada pemalsuan KTP, segala macam fiktif, dikenakan tindak pidana pemalsuan," jelasnya.

Mantan kapolri tersebut juga mengaku telah meminta kapolda Sultra untuk menindak para pelaku desa fiktif jika memang terbukti bersalah. "Saya sudah tekankan kepada Pak Kapolda Sultra, sudah tindak saja kalau memang fiktif, kalau ada korupsi tindak saja. Saya pikir itu, nanti kita perbaiki sistemnya," ujar dia.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar, juga memerintahkan para pendamping desa untuk melakukan verifikasi ke lapangan soal adanya 'desa fiktif'. Namun, ia meminta untuk dimaklumi terkait jalannya proses tersebut karena jumlah pendamping desa yang hanya setengah dari jumlah total desa di Indonesia.

"Kita minta para pendamping desa melakukan verifikasi apa benar di wilayahnya, di sekitarnya ada fakta-fakta seperti itu. Nah, nanti kita akan foooting ke Kemenkeu, ke Kemendagri, untuk bahan tambahan dan menjadi bagian dari evaluasi," ujar Abdul di Kemendes PDTT, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (5/10).

Dalam proses verifikasi itu, peran pendamping desa menjadi penting. Namun, kondisi yang ada saat ini, jumlah pendamping desa hanya setengah dari jumlah total desa yang ada di Indonesia. Menurut Abdul, jumlah desa di Indonesia ada sekitar 74 ribu desa, sedangkan jumlah pendamping desa hanya 37 ribu.

"Sehingga satu banding dualah rata-rata sampai hari ini kita belum bisa meng-cover secara total satu desa satu pendamping," katanya.

photo
Dana Desa Naik

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement