REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Ronggo Astungkoro
Pemerintah akan melakukan verifikasi fenomena ‘desa fiktif’. Rencana ini disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani berdasarkan kondisi masih banyaknya desa tertinggal di tengah kenaikan anggaran dana desa dari tahun ke tahun.
Sri mengatakan, saat ini, setidaknya masih ada 20 ribu desa yang masuk dalam kategori tertinggal. Berdasarkan banyak masukan dari berbagai pihak, penyebabnya adalah bermunculan 'desa fiktif'.
"Sekarang, muncul desa-desa baru yang bahkan tidak ada penduduknya," ucapnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (4/11).
'Desa fiktif' tersebut muncul hanya untuk mendapatkan dana desa yang sudah rutin dianggarkan pemerintah pusat setiap tahun sejak 2015. Anggarannya pun terus meningkat dari waktu ke waktu, yaitu dari Rp 47 triliun pada 2016 menjadi Rp 70 triliun di tahun ini.
Mengutip data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), setidaknya terdapat 74.579 desa di Indonesia pada tahun ini. Dengan pagu anggaran dana desa dalam APBN 2019 sebesar Rp 70 triliun, artinya tiap desa mendapatkan rata-rata Rp 938 juta pada 2019.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, pemerintah sudah membuat anggaran lebih besar untuk dana desa, yakni Rp 72 triliun. Dengan besarnya anggaran ini, Sri berharap, kementerian/lembaga terkait untuk bersama-sama melakukan tindakan pengawasan lebih ketat.
"Kita juga ingin melakukan verifikasi terhadap munculnya fenomena tersebut," tutur Sri.
Dari sisi keuangan, Sri mengatakan, Kemenkeu akan memperketat aturan pencairan dana desa. Hanya saja, ia belum menjelaskan mekanisme dan komponen apa saja yang akan diperketat tersebut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/11).
Dana desa dianggarkan pemerintah pusat untuk membangun dan memberdayakan masyarakat desa dalam rangka pelaksanaan otonomi desa. Sejak 2015 hingga pertengahan 2019, dana desa sudah memberikan berbagai output. Di antaranya, menunjang aktivitas ekonomi masyarakat melalui pembangunan jalan desa hingga 201 ribu kilometer dan 9.329 unit pasar desa.
Sri menyebutkan, pihaknya baru mendengar fenomena desa fiktif setelah pembentukan Kabinet Indonesia Maju pada dua pekan lalu. Ia memastikan, pemerintah, terutama melalui Kementerian Dalam Negeri, akan segera melakukan inevstigasi.
Kemenkeu sendiri akan bersama-sama melihat seluruh prosedur untuk menghindari penyalahgunaan dana desa. "Kita akan lihat, karena berdasarkan mekanismenya, ada mekanisme untuk pembentukan desa dan identifikasi siapa pengurusnya dan sebagainya," ucap Sri.
Adapun, pada periode Januari sampai September 2019, realisasi penyaluran dana desa baru mencapai Rp 44 triliun atau 62,9 persen dari pagu anggaran. Realisasi ini menjadi terendah sejak 2015, di mana realisasi periode periode Januari sampai September dapat berada di atas 63 persen.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar, memerintahkan para pendamping desa untuk melakukan verifikasi ke lapangan soal adanya 'desa fiktif'. Tetapi, ia meminta untuk dimalkumi terkait jalannya proses tersebut karena jumlah pendamping desa yang hanya setengah dari jumlah total desa di Indonesia.
"Kita minta para pendamping desa melakukan verifikasi apa benar di wilayahnya, di sekitarnya ada fakta-fakta seperti itu. Nah nanti kita akan foooting ke Kemenkeu, ke Kemendagri, untuk bahan tambahan dan menjadi bagian dari evaluasi," ujar Abdul di Kemendes PDTT, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (5/10).
Dalam proses verifikasi itu, peran pendamping desa menjadi penting. Tetapi, kondisi yang ada saat ini, jumlah pendamping desa hanya setengah dari jumlah total desa yang ada di Indonesia. Menurut Abdul, jumlah desa di Indonesia ada sekitar 74 ribu desa, sedangkan jumlah pendamping desa hanya 37.000.
"Sehingga satu banding dualah rata-rata sampai hari ini kita belum bisa meng-cover secara total satu desa satu pendamping," katanya.
Untuk mengatasi permasalahan itu, Abdul mengaku akan memperpendek rasio perbandingan tersebut. Ia akan mencoba meminta penambahan pendamping desa agar rasio perbandingannya tidak lagi satu banding dua, melainkan setidaknya 1:1,5.
"Kalau mungkin 1:1. Tapi kalau tidak mungkin ya 1:1,5 atau bagaimana supaya lebih mudah lagi pemantauan kita terhadap penggunaan, perencanaan, dan pengawasan dana desa," terangnya.
Dana Desa Naik