Senin 04 Nov 2019 10:03 WIB

Media Sosial

Mahasiswa menggunakan media sosial untuk memobilisasi massa.

Ribuan mahasiswa kembali berdemonstrasi di depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9).
Foto: Republika/Febryan.A
Ribuan mahasiswa kembali berdemonstrasi di depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Lavica Anky Riswanda, Peneliti Media Indonesia Indicator - Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Situasi politik nasional kembali memanas pasca-Pilpres 2019 usai. Menjelang berakhirnya periode pertama, pemerintahan Jokowi mendapat berbagai tekanan publik, hal ini disebabkan sejumlah manuver sejumlah elite baik DPR dan pemerintah seperti rencana pengesahan sejumlah RUU yang dianggap kontroversial RKUHP, RUU Pertahanan, RUU Ketenagakerjaan. Ada juga isu anti-korupsi yang disebabkan dugaan pelemahan KPK dengan beberapa indikator seperti pengesahan UU KPK serta pemilihan ketua KPK yang dianggap bermasalah karena ketua KPK terpilih Firli Bahuri pernah melanggar kode etik.

Berbagai kontroversi yang diperlihatkan oleh elite politik tersebut memancing sejumlah mahasiswa untuk melakukan aksi demonstrasi. Tindakan mahasiswa ini juga bagian dari kontrol atas sikap elite politik yang tidak memperlihatkan sikap check and balance.

Menurut Samuel Huntington, tindakan mahasiswa ini sebagai bentuk partisipasi politik yang bertujuan mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah melalui jalur non konvensional dengan cara aksi demonstrasi. Hal ini tercermin pada desakan terhadap pemerintah untuk menerbitkan Perppu KPK dan membatalkan sejumlah RUU yang dianggap terlalu dipaksakan untuk disahkan.

Dalam pergerakannya, aksi mahasiswa ini menggunakan instrumen media sosial untuk melakukan mobilisasi massa. Peran media sosial cukup efektif digunakan sebagai menghadirkan peserta aksi yang begitu massif.

Ekskalasi aksi ini menguat pascaajakan di media sosial Twitter melalui tagar #GejayanMemanggil di Jogjakarta, gerakan tersebut juga memantik jalanya aksi mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia dengan variasi tagarnya masing-masing seperti #HidupMahasiswa, #SurabayaMenggugat. Ajakan datangnya aksi tersebut juga dielaborasi dengan berbagai narasi tuntutan mahasiswa seperti penundaan pengesahan beberapa RUU kontroversial dan penerbitan Perppu bagi UU KPK. Beberapa tagar yang dijadikan penggiringan opini dan viral adalah #ReformasiDikorupsi, #MosiTidakPercaya, #SemuaBisaKena #KUHP #DiperkosaNegara.

Media sosial juga digunakan untuk penyebarluasan informasi bagi masyarakat yang ingin berpartisipasi secara tidak langsung melalui sumbangan dana. Dalam setiap gerakan sosial selalu memiliki kebutuhan dalam mencapai tujuannya. Kebutuhan dalam gerakan sosial di antaranya seperti legitimasi serta akses dalam memperoleh sumber pendanaan (dalam Snow dkk, 2004 : 127).

Platform penggalangan dana secara online, kitabisa.com digunakan untuk melakukan instrumen tersebut sehingga dapat melibatkan partisipasi masyarakat dalam gerakan aksi mahasiswa. Sejarah mencatat, teknologi media sosial menjadi bagian penting dari aktivisme gerakan massa yang bekerja secara efektif. Salah satunya, revolusi di Timur Tengah (Arab Spring) yang menjadi contoh nyata peran media sosial dan teknologi yang menyebabkan lahirnya gerakan politik, bahkan menjalar secara transnasional di beberapa wilayah seperti, Libya, Mesir, Tunisia yang berhasil meruntuhkan rezim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement