Senin 04 Nov 2019 10:03 WIB

Media Sosial

Mahasiswa menggunakan media sosial untuk memobilisasi massa.

Ribuan mahasiswa kembali berdemonstrasi di depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9).
Foto:
Seorang Demonstran dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) berorasi sambil membakar ban depan Gedung Sate, Jl Diponegoro, Kota Bandung (22/4). Mereka menolak pengadaan 95 unit mobil Toyota Fortuner sebagai kendaraan dinas.

Kasus Demo Hong Kong

Aksi demonstrasi mahasiswa di Indonesia memiliki kemiripan dengan aksi demonstran di Hong Kong. Kedua aksi tersebut merupakan respons dari produk hukum yang dianggap bermasalah.

Di Hong Kong, aksi protes disebabkan oleh penolakan masyarakat atas usulan perubahan undang-undang ekstradisi, yang berupa diperbolekannya penjahat yang tertangkap di Hong Kong diekstradisi ke China. Berbagai kemiripan tersebut juga terbaca dari beberapa hal seperti penggunaan instrumen media sosial dalam memobilisasi massa, adanya crowdfunding dari sejumlah pihak serta terlibatnya para pelajar di Hong Kong dalam demonstrasi.

Media sosial menjadi tumpuan para pedemo untuk mengorganisir pergerakan mereka. Bedanya, di Hong Kong menggunakan chat forum LIHKG serta grup Telegram sebagai media penyebaran informasi mengenai jalanya aksi. Penggunaan media sosial ini juga dimaksudkan sebagai mobilisasi massa serta fungsi koordinatif dan bisa digunakan secara anonimus serta bersifat tertutup.

Dari sisi ekskalasi, gerakan demonstrasi di Hong Kong berlangsung  stimultan hingga pekan ini. Padahal, demonstrasi ini telah berlangsung sejak periode Juni lalu serta rencana RUU tersebut telah dibatalkan. Hal ini juga dikaitkan dengan tuntutan aksi yang tidak melulu soal RUU ekstradisi semata, tetapi juga membangun semangat reformasi total dan penegakan demokrasi di Hong Kong. Semangat ini sejalan dengan keinginan masyarakat Hong Kong yang enggan menjadi bagian dari China daratan.

Menurunnya Eksalasi Demonstrasi Mahasiswa

Berbeda dengan jalanya aksi mahasiswa di Indonesia yang cenderung timbul tenggelam dan menurun ekskalasinya. Penulis menilai ada beberapa faktor, pertama, dari sisi internal yang dikaitkan dengan tuntutan mahasiswa yang tidak satu suara.

Kelompok mahasiswa BEM SI masih bersikukuh mendesak pemerintah untuk menerbitkan Perppu KPK. Sementara kelompok lainnya yang terafiliasi dengan BEM RI meminta kepada Presiden Jokowi untuk tidak menerbitkan Perppu KPK dengan menggunakan wacana alternatif untuk melakukan judicial review dan legislative review. Perbedaan tersebut justru semakin menguatkan adanya friksi di internal mahasiswa yang semakin membuat ekskalasi aksi menurun.

Kedua, dari faktor eksternal yakni media sosial yang berperan mendistorsi gerakan tersebut. Hal ini disebabkan framming negatif netizen dengan membangun narasi jika aksi tersebut mengganggu ketertiban umum. Narasi ini menguat pascaterlibatnya para pelajar yang didominasi oleh siswa STM dalam aksi demonstrasi mahasiswa dan berlangsung rusuh serta melakukan tindakan vandalisme beberapa faslitas umum.

Isu negatif lainya yang berkembang di media sosial adalah tuduhan jika aksi tersebut ditunggagi oleh sejumlah kelompok. Sontak, apresiasi netizen berubah dari sikap apresiasi bergeser ke kecaman karena tindakan tersebut.

Hal tersebut memberikan fakta jika penggunaan media sosial belum tentu berdampak pada suksesnya suatu gerakan. Berkaca pada dua faktor di atas, jalannya aksi mahasiswa diharapkan tidak hanya berorientasi pada viralitas gerakan tersebut, tetapi juga dikuatkan dengan konsolidasi massa yang solid melalui penggunaan satu narasi tuntutan yang sama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement