Jumat 01 Nov 2019 18:58 WIB

Amnesty Kritik Keras Sanksi Ringan untuk Polisi Kendari

Polisi dinilai lari dari tanggung jawab dalam kasus meninggalnya dua mahasiswa.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Teguh Firmansyah
Pengunjuk rasa menendang barikade personel Polda Sulawesi Tenggara saat aksi menuntut penuntasan kasus kematian mahasiswa di depan Polda Sulawesi Tenggara, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (22/10/2019).
Foto: Antara/Jojon
Pengunjuk rasa menendang barikade personel Polda Sulawesi Tenggara saat aksi menuntut penuntasan kasus kematian mahasiswa di depan Polda Sulawesi Tenggara, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (22/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok sipil mengecam keputusan Polri yang memberikan hukuman ringan terhadap anggotanya terkait kematian dua mahasiswa saat demonstrasi di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), September lalu.

Amnesty Internasional Indonesia, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, Polri lari dari tanggungjawab setelah melakukan praktik pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan aksi unjuk rasa untuk penolakan terhadap RUU KUHP dan UU KPK tersebut.

Baca Juga

Direktur Amnesty Indonesia Usman Hamid mengatakan, dalam sidang internal di kepolisian, menebalkan enam personelnya terbukti melakukan pelanggaran kode etik yang mengakibatkan dua mahasiswa meninggal dunia.

“Kami (Amnesty) sangat prihatin dengan temuan fakta bahwa enam petugas kepolisian Indonesia yang terlibat dalam kematian mahasiswa, hanya dihukum secara adminsitratif,” kata dia dalam rilis resmi yang diterima Republika.co.id, di Jakarta, Jumat (1/11).

Usman mengatakan, hukuman yang diberikan terhadap enam anggota Polri atas kematian dua mahasiswa tersebut menunjukkan tak ada niat baik kepolisian untuk meningkatkan profesionalitasnya dalam penanganan hukum para anggotanya. Sanksi ringan itu menunjukkan kegagalan total kepolisian untuk memastikan pertanggungjawaban anggotanya atas bentuk pelanggaran HAM.

Amnesty, pun menyerukan kepada negara agar proses investigasi independen digelar untuk dapat menemukan bukti pelanggaran hukum oleh kepolisian atas kematian dua mahasiswa tersebut.

Menurut Usman, pembuktian tersebut diperlukan sebagai upaya menyeret pelaku pembunuhan dengan senjata api tersebut ke pengadilan sipil. Sebab menurutnya, tanpa adanya pengadilan atas pembunuhan tersebut, memunculkan impunitas baru bagi kepolisian dalam penggunaan senjata api yang mematikan, saat pengamanan unjuk rasa.

KontraS, pada Kamis (31/10), juga melayangkan kritik serupa terhadap Polri. Kordinator Kontras Yati Andriyani dalam pernyataan persnya menegaskan, hukuman ringan terhadap enam anggota kepolisian yang disidang terkait tewasnya dua mahasiswa di Kendari, membuktikan akuntabilitas yang rendah diinternal Polri.

Ia pun mengatakan, hukuman tersebut sebagai bentuk perlindungan sesama anggota yang diduga melakukan pelanggaran kode disiplin terkait meninggalnya dua mahasiswa tersebut.

Dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Randi dan Yusuf Kardawi meninggal dunia dan korban dari tindakan represif kepolisian dalam penanganan demonstrasi penolakan RUU KUHP dan UU KPK di Kendari, 26 Septmber lalu. Yusuf tewas karena peluru tajam, dan Randi meningga dunia karena luka parah di bagian kepala.

Desakan publik, membuat Polri melakukan penyelidikan internal terkait tewasnya dua mahasiswa tersebut. Hasilnya, diketahui enam anggota kepolisian menggunakan senjata api dengan peluru tajam saat penanganan. Namun proses internal itu cuma memberikan sanksi ringan.

Propam Polda Sultra, hanya memberikan hukuman tertulis terhadap enam anggota kepolisian tersebut dengan penundaan kenaikan pangkat dan upah selama satu tahun. Hukuman lainnya, dengan kurungan ringan selama 21 hari.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement