Jumat 01 Nov 2019 22:25 WIB

Hampir Setahun, 25.069 Warga Jabar Periksa di RS Jiwa

Warga yang periksa di RSJ antara lain sebab gawai.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Nashih Nashrullah
Sejumlah pasien sakit jiwa menjalani proses rehabilitasi mental di Rumah Sakit Jiwa. (ilustrasi)
Foto: Antara/Ampelsa
Sejumlah pasien sakit jiwa menjalani proses rehabilitasi mental di Rumah Sakit Jiwa. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG— Saat ini semua orang, baik anak-anak maupun remaja, berpotensi mengalami gangguan kesehatan jiwa atau mental. Namun, banyak generasi muda Indonesia, termasuk Jawa Barat, enggan memeriksa kesehatan jiwa secara berkala.  

Data Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jabar menyebutkan pada Januari-September 2019, jumlah kelompok usia 19-45 tahun yang mengunjungi RSJ mencapai 25.069 orang.

Baca Juga

"Dalam kurun yang sama, jumlah kelompok usia 13-18 tahun yang mengunjungi RSJ menyentuh 3.104 orang," ujar Pj Sekretaris Daerah Provinsi Jabar, Daud Achmad, kepada wartawan, Jumat (1/11).

Daud mengatakan, masalah perkawinan dan keluarga menjadi pencetus gangguan kesehatan jiwa yang paling dominan. Selain itu, gangguan kesehatan jiwa disebabkan juga oleh faktor pekerjaan, kondisi ekonomi, penyakit fisik, hubungan interpersonal dan lingkungan.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar sendiri, kata dia, terus berupaya mencegah dan menekan jumlah ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) dan ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan) dengan merintis Unit Crisis Center Pelayanan Kesehatan Jiwa. 

“Itu respons terhadap kesehatan jiwa di masyarakat. Penanganan cepat tanggap (bagi ODGJ dan ODMK) sangat dibutuhkan,” kata Daud seraya mengatakan faktor pencetus ketidakberdayaan, kehilangan pasangan, tekanan sosial-ekonomi, hingga pekerjaan yang dialami oleh masyarakat.

"Kami juga berupaya mengajak masyarakat agar memerhatikan masalah kesehatan jiwa serta menghapus stigma negatif gangguan kesehatan jiwa,” katanya.

Selain itu, kata dia, Pemprov Jabar pun akan menggagas program bernama Sekolah Tanpa Gawai (Setangkai). Program itu diluncurkan karena, saat ini, penggunaan gawai yang berlebihan dapat menjadi pencetus gangguan kesehatan jiwa, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. 

“Di Jabar, kami juga banyak menerima pasien ODMK usia anak karena kecanduan gadget (gawai). Situasi tersebut menjadi masalah yang menjangkiti anak-anak kita,” kata Daud. 

Sementara menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, Anung Sugihantono, mengapresiasi langkah Jabar dalam menangkal gangguan kesehatan jiwa di kalangan anak-anak maupun remaja.  

Anung mengatakan, ada satu hal lain dan paling penting dalam pencegahan gangguan kesehatan jiwa, yakni meningkatkan literasi kesehatan. Jika literasi kesehatan tinggi, generasi muda akan bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri untuk mendeteksi lebih dini kondisi kesehatan jiwanya. 

Sebenarnya, kata dia, yang paling mendasar (dalam pencegahan kesehatan jiwa) adalah memahami kesehatan itu. Kesehatan itu bukan diartikan bebas dari cacat bebas dari rasa sakit. "Tapi, ada aspek psikososial, termasuk di dalamnya produktif dalam sosial, dan bersosialisasi,” katanya. 

Kemudian, kata Anung, pemangku kebijakan mesti memerhatikan tingkat literasi teknologi, termasuk gawai, generasi muda. Pasalnya, teknologi bak pisau bermata dua. Jika digunakan dengan baik, teknologi akan penuh manfaat. Jika tidak, teknologi akan penuh mudarat. 

Di beberapa sekolah, kata dia, anak tidak boleh membawa gawai. Tapi, masalahnya, guru memberikan tugas yang mendorong anak menggunakan gawai. "Ini jadi persoalan. Maka itu, kita harus memastikan bahwa mereka (generasi muda) menggunakan gawai dengan bijak,” katanya.  

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement