Kamis 31 Oct 2019 12:51 WIB

Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan, Ini Kata Netty Prasetiyani

Sebagai penyelenggara jaminan sosial, BPJS memang perlu diselamatkan.

Rep: Maman Sudiaman/ Red: Agus Yulianto
Ibu Netty Prasetyani Heryawan
Ibu Netty Prasetyani Heryawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan iuran BPJS kesehatan mendapat respons dari berbagai kalangan. Salah satunya dari Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, Dr. Netty Prasetiyani, M.Si. menyampaikan kegundahannya atas naiknya iuran BPJS tanpa konsultasi dengan DPR. 

“Ini membuat rakyat semakin menanggung beban berat,” ujar Netty  di Senayan, usai menghadiri pelantikan pimpinan Komisi IX DPR RI, Rabu (30/10). 

Menurut Netty, September lalu DPR telah menyatakan penolakan usulan pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS peserta mandiri. Pemerintah diminta untuk cleansing data kepesertaan dan mencari cara lain untuk menutup defisit BPJS. 

"Lho kok, langsung naik. Seperti mencari jalan pintas saja atas defisit BPJS?” ujar Netty.

Presiden Jokowi pada 30 Oktober 2019 mengeluarkan Perpres No 75 tahun 2019 yang menjadi legitimasi bagi kebijakan naiknya  iuran BPJS Kesehatan. Dalam Perpres tersebut dirinci bahwa kenaikan iuran untuk peserta mandiri yang berlaku mulai Januari 2020 adalah sebagai berikut: kelas III dari Rp 24 ribu menjadi Rp 42 ribu, kelas II dari 51 ribu menjadi Rp 110 ribu, dan kelas I dari Rp 81 ribu menjadi Rp 160 ribu. 

Sedangkan untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya ditanggung negara, kenaikannya Rp dari 24 ribu menjadi Rp 42 ribu dan dihitung per Agustus 2019. Secara hitungan, kenaikan tersebut mendekati 100 persen. 

Menurut Netty, kenaikan iuran BPJS tanpa adanya proses pembenahan dan pemilahan data kepesertaan dapat dipastikan akan membebani masyarakat. 

“Bayangkan bagaimana seorang tukang gorengan yang istrinya jadi buruh cuci, anaknya tiga, harus membayar BPJS  lebih dari dua ratus ribu setiap bulan. Padahal belum tentu juga mereka datang ke faskes kalau sakit...,” ujar Netty. 

Netty mengingatkan, penyediaan layanan kesehatan adalah kewajiban pemerintah pada rakyatnya. “Itu tugas konstitusional yang tidak boleh diabaikan. Pemerintah harus jeli mencari cara-cara kreatif dan inovatif dalam menangani defisit BPJS," ujarnya. 

"Jangan memudahkan urusan dengan melempar beban pada rakyat. BPJS defisit, iuran naik. PLN rugi, tarif naik. Pertamina jebol anggaran, gas dan bahan bakar naik. Wah, enak dong jadi pemerintah. Dimana keberpihakan pada rakyat,” ujar Netty getir.

Netty menggarisbawahi pentingnya pemerintah membuat skala prioritas dan pentahapan dalam memandang masalah ini. Saat ini, kata dia, yang paling emergency adalah bagaimana menyelamatkan hidup rumah sakit yang terancam henti napas akibat tunggakan BPJS yang bila rumah sakit berhenti operasional maka rakyat akan kehilangan tempat pelayanan. 

“BPJS harus segera membayar rumah sakit agar tidak collaps dan terhindar dari merumahkan karyawan, termasuk dokter dan tenaga paramedis. Rumah sakit kan harus melunasi hutangnya di vendor obat dan alkes agar supply tidak terganggu,” ujarnya.

Netty menyatakan meski ia belum puas dengan kinerja BPJS Kesehatan, namun di sisi lain, ia  memahami bahwa sebagai penyelenggara jaminan sosial, BPJS memang perlu diselamatkan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement