REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen ilmu politik Universitas Padjadjaran Yusa Djuyandi mengatakan kekuatan PKS di parlemen tidak akan cukup dalam kerangka checks and balances untuk mengontrol pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin ke depan sebagai oposisi. Kalah jumlah membuat PKS bakal hanya bisa membantu mengawasi kebijakan eksekutif.
"Dalam konteks checks and balances memang keberadaan PKS di DPR sebagai oposisi dapat membantu masyarakat mengawasi kebijakan eksekutif, tetapi jumlah mereka di DPR dapat dikatakan kecil bila dibandingkan dengan partai-partai koalisi pemerintah," kata Yusa dihubungi di Jakarta, Selasa (22/10).
Yusa mengatakan keputusan Gerindra untuk menerima ajakan Presiden Jokowi untuk masuk dalam kabinet makin menambah panjang deretan gerbong partai pendukung pemerintah. Masuknya Gerindra ke dalam koalisi di satu sisi akan menghilangkan atau melemahkan polarisasi dua kekuatan politik yang pada waktu lima tahun sebelumnya begitu menonjol dan meramaikan jagat dunia maya.
Tetapi di sisi lain, masuknya Gerindra ke dalam kabinet pemerintahan Jokowi juga dapat semakin melemahkan kontrol terhadap eksekutif. Menurut pengamatannya, dari empat partai pendukung Prabowo dan Sandi pada Pilpres 2019, hanya PKS yang menyatakan akan tetap menjadi oposisi yang kritis dan konstruktif.
Dengan kecilnya kekuatan PKS di parlemen, kata dia, praktis pemerintah tidak akan menemui banyak hambatan dalam menggolkan kebijakan-kebijakannya, bila hanya berhadapan dengan PKS. Apalagi, bila kebijakan itu tidak berorientasi pada kepentingan publik.
"Lalu kepada siapa kita harus berharap? Jawabannya sebenarnya juga ada pada media yang bisa berperan sebagai watchdog, kepada para NGO dan kelompok akademisi maupun mahasiswa," ujar dia.
Yusa mengatakan, kelompok tersebut bisa memainkan peran strategis tatkala DPR tidak bisa menjalankan fungsi pengawasannya dengan baik, tatkala kekuatan DPR kelak didominasi oleh partai koalisi pemerintah maka perlu ada pilar keempat demokrasi.