Jumat 18 Oct 2019 18:48 WIB

Polisi Ungkap Peran Dosen IPB dalam Aksi Berujung Rusuh

Aksi demonstrasi berujung rusuh terjadi di Jakarta pada 24 September 2019.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Andri Saubani
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono
Foto: Fakhri Hermansyah
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen nonaktif Institut Pertanian Bogor (IPB) berinisial AB turut disebut berperan dalam perencanaan dan peledakan menggunakan bom molotov saat aksi unjuk rasa berakhir rusuh pada 24 September lalu. Polisi menyebut, pada  20 September 2019, AB merencanakan aksi peledakan tersebut bersama SS, SO, AB, dan YD di rumah salah satu tersangka berinisial SN yang terletak di Ciputat, Tangerang Selatan.

"Pada rapat di Ciputat itu sudah terjadi permufakatan untuk membuat suatu kejahatan yaitu mendompleng unjuk rasa tanggal 24 September yaitu untuk membuat chaos (kerusuhan), pembakaran," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Jumat (18/10).

Baca Juga

Argo mengungkapkan, dalam pertemuan tersebut, mereka juga membagi peran untuk melaksanakan ledakan menggunakan bom molotov. Di antaranya menentukan sosok yang berperan sebagai perencana, pembuat bom molotov, hingga eksekutor peledakan.

Pada 23 September, sambung Argo, tersangka YD dan AB sepakat untuk membuat bom molotov yang akan diledakkan pada aksi unjuk rasa tanggal 24 September. YD pun kemudian melaporkan rencana pembuatan bom molotov itu kepada Abdul Basith.

"Setelah lapor ke AB , AB menyampaikan untuk menghubungi EF guna meminta uang sebesar RP 800 ribu," ujar Argo.

Argo mengungkapkan, EF pun meminta suaminya yang berinisial AH untuk mentransfer uang tersebut kepada tersangka UM. Sebab, tersangka YD tidak memiliki rekening tabungan.

Setelah uang tersebut ditransfer, tiga tersangka lainnya, yakni UM, YD, dan JK mendatangi rumah tersangka HLD di wilayah Jakarta Timur untuk membuat bom molotov.

"Setelah semua berkumpul di rumah HLD, tersangka JK dan HLD membeli bensin untuk membuat bom molotov. Dibuatlah tujuh buah bom molotov, kemudian setelah selesai dibuat (bom molotov), dan dilaporkan ke tersangka AB dan EF," ungkap dia.

Tujuh buah bom molotov itu kemudian diledakkan di daerah Pejompongan, tepatnya dekat jalan layang (fly over) Pejompongan pada tanggal 24 September sekitar pukul 21.00 WIB. Tujuh buah bom molotov itu pun dibagikan kepada tersangka ADR, KSM, dan YD. Hingga saat ini, polisi masih memburu keberadaan tersangka KSM.

"Tujuh bom dibagi tiga, dua buah bom untuk tersangka ADR, dua buah bom untuk tersangka KSM yang masih DPO, dan tiga bom molotov dipegang YD yang dilempar ke petugas dua buah bom, sementara satu buah bom untuk bakar ban," papar Argo.

Saat ini, para tersangka telah ditahan di rumah tahanan (rutan) Polda Metro Jaya. Atas perbuatannya, mereka dijerat Pasal 187 bis Pasal 212 KUHP, Pasal 214 KUHP, dan Pasal 218 KUHP.

Sebelumnya, kuasa hukum AB, Gufroni mengatakan, penyidik kepolisian memang belum pernah menunjukkan barang bukti molotov kepada pihaknya. Sehingga, pihaknya tidak bisa memastikan apakah barang bukti yang disita oleh pihak kepolisian merupakan bom molotov atau bukan.

"Karena kita belum diperlihatkan barang buktinya jadi belum bisa dipastikan apakah itu bom molotov atau minyak jarak," kata Gufron saat dikonfirmasi, Rabu (2/10).

Gufron pun mengaku heran dengan pemberitaan atau narasi yang terbangun di media massa yang menyebut seolah-olah kliennya adalah aktor utama, inisiator, hingga penyandang dana dalam kasus tersebut. Padahal, kata Gufron, berdasarkan pengakuan AB, orang yang menjadi otak atau penyandang dana adalah orang yang terpandang.

"Menurut penuturan klien kami, yang mengarsiteki dan mendanai serta menginisiasi hal-hal yg dituduhkan, bukanlah klien kami, melainkan beberapa orang 'terpandang'," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement