Jumat 18 Oct 2019 11:11 WIB

Mengenang HS Dillon; Pejuang Nasib Petani dan Rakyat Miskin

Orang miskin itu bukan hanya masalah uang, tapi martabat sebagai manusia.

Kepala Sub Direktorat Pengawasan Lembaga Zakat Kemenag, M Fuad Nasar
Foto:
Pendiri Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST), HS Dillon, menyatakan perlu ada keberanian dari para pemimpin daerah untuk mendeklarasikan kota/kabupaten yang mereka pimpin sebagai “Kota HAM”. Saat ini baru tiga daerah yang mendeklarasikan diri sebagai Kota HAM, yaitu Bandung, Wonosobo, dan Palu.

Dalam rangka mengenang HS Dillon, saya ingin mengutip judul Orasi Kebudayaan yang disampaikannya di Taman Ismail Marzuki tahun 2015, yaitu  "Kemiskinan-Kesenjangan: Perbuatan atau Pembiaran?" dalam rangka ulang tahun ke-70. Tiga paradoks pembangunan disampaikan di bagian awal orasinya, ialah: Pertama, kemiskinan meningkat tajam di tengah masyarakat yang kaya. Kedua, di tengah-tengah ke­kayaan yang melimpah, kita mempunyai kesempatan yang semakin kecil untuk mewujudkan kepedulian. Ketiga, kebutuhan tenaga kerja sangat besar, namun pengangguran terus meningkat.

Orasi kebudayaan ini, ungkap HS Dillon saat itu, mengajak kita keluar dari perangkap kemapanan, melancarkan mujahaddat an nafs dan memperbaharui tekad melintasi segala sekat perbedaan untuk melanjutkan kembali perang memerdekakan rakyat. Orasi ini juga merupakan ajakan untuk bangkit merapatkan barisan menggusur perbuatan-pembiaran kemiskinan-kesenjangan dan kembali menuju ke Republik.

Apa yang dibutuhkan agar dapat kembali ke jalan yang benar, HS Dillon menawarkan, Postulat Baru ialah Kesetaraan, Paradigma Baru yaitu People-driven Development, dan Kemitraan baru yaitu Private-Public-People Partnership. Dalam kaitan ini pemimpin harus mampu melintasi segala kepentingan kelompok, keluarga, suku, maupun agama, dan menyatukan diri dengan kepentingan bangsa. Komunikasikan strategi dengan bahasa rakyat, agar timbul rasa aman dari perlakuan semena-mena penguasa maupun kelompok masyarakat sehingga terpupuk harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Di dalam Negara Republik Indonesia yang kaya raya, menurut HS Dillon, tidak sepatutnya masih banyak terdapat rakyat miskin dan kesenjangan yang semakin meningkat. Dalam buku saya, "Zakat Di Ranah Agama dan Negara", terdapat testimoni HS Dillon.

“Kita harus mewariskan republik ini lebih baik dari pada yang kita warisi. Kalau mau membangun bangsa, mulailah dari mereka yang paling lemah. Bantu kemampuan rakyat untuk membangun dirinya. Semoga upaya ini mendapatkan rahmat dari Rabb.”

Sebulan sebelum wafatnya saya bertemu HS Dillon yang hadir sebagai pembicara dalam Dialog Kebangsaan yang digelar IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) tanggal 7 Agustus 2019 di Museum Nasional Jakarta. Saya mencatat kata-kata bijak Pak Dillon yang ternyata merupakan salah satu pesan yang penghabisan sebelum meninggalkan dunia fana.

Pak Dillon saat itu menyatakan, "Kejahatan terhadap generasi mendatang, bukan dari apa yang kita kerjakan, tapi apa yang kita biarkan. Satu gancangan sosial bisa menghancurkan bangunan Republik ini. Indonesia akan tetap ada, tetapi Republik Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 bisa hilang."

Menurut HS Dillon, setiap kebijakan tidak boleh membuat warga miskin makin terpinggirkan. Kekuasaan negara tidak bisa netral terhadap keadaan masyarakat warganya. Dalam pandangan HS Dillon, di negara Indonesia yang kaya raya ini tidak sepatutnya masih banyak terdapat rakyat miskin dan kesenjangan yang semakin melebar. Di sisi lain, dunia pendidikan di Tanah Air tidak boleh melahirkan orang-orang yang memangsa bangsanya sendiri.

Sejalan dengan idealismenya HS Dillon menjadi founder dari lembaga swadaya masyarakat yaitu CAPS (Centre Agriculture Policy Study) dan FHIRST yakni NGO yang bergerak di bidang Human Rights. Orang boleh sepakat atau tidak dengan sudut pandang dan pemikiran HS Dillon. Akan tetapi patut diakui beliau pejuang yang tulus dan mencintai negeri secara totalitas.

Seorang tokoh dan pemimpin yang berani berkata dan berbuat apa pun risikonya yang terpenting untuk kepentingan banyak orang dan masyarakat. Segala pernyataan, tulisan dan tindakannya merefleksikan keberpihakan terhadap rakyat Indonesia dan tujuan bernegara tanpa vested interest pribadi.

"Sebuah kursi, kedudukan dan jabatan, bisa merenggut nurani," tulis Dillon dalam akun twitternya.

Dalam kesempatan lain HS Dillon menyuarakan bagaimana pentingnya perlindungan hak-hak beragama bagi setiap warga negara. “Kalian yang beragama, hiduplah seperti nabi kalian! Kalau sudah jadi manusia yang baik, pasti akan jadi warga negara yang baik," ucap dia.

Ibu Pertiwi telah banyak melahirkan agamawan, cendekiawan, dan sosiawan. Dengan ilmu dan perbuatannya, mereka mengingatkan agar kita tidak menjadi bangsa yang lalai. Saya bersyukur bisa berkenalan dengan HS Dillon dan juga mengenal sekelumit arti kepeloporan, kejuangan dan pengabdiannya, yaitu 3 matra yang sering disampaikannya di beberapa kesempatan.

Pesan dan nasihat tentang integritas HS Dillon kepada salah satu mantan ajudannya dari perwira muda kepolisian yakni Albert Parulian sangat berkesan. Menurut HS Dillon, “Di mana ada kewenangan, di situ ada celah untuk menyalahgunakannya, terutama untuk memperkaya diri sendiri. Tinggal kita mau jadi orang berintegritas atau tunduk pada kekuasaan uang.”

Sosok HS Dillon yang selalu mengenakan serban khas India di kepalanya akan dikenang selalu sebagai seorang yang mengabdikan ilmunya untuk kesejahteraan rakyat dan menjaga keluhuran harkat-martabat bangsa. Pada 2015 beliau menerima tanda kehormatan Bintang Mahaputera Utama dari Pemerintah atas jasa dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara. Kendati raganya telah tiada, tetapi jiwa, semangat juang, dan cita-citanya menjadi sumber belajar bagi seluruh anak negeri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement