Rabu 16 Oct 2019 18:07 WIB

UU KPK Syaratkan Pimpinan 50 tahun, Bagaimana Nurul Ghufron?

Salah satu pimpinan KPK 2019-2024 terpilih, Nurul Ghufron, masih berusia 45 tahun.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Ratna Puspita
Pimpinan KPK 2019-2024 terpilih Nurul Ghufron
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Pimpinan KPK 2019-2024 terpilih Nurul Ghufron

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- UU KPK baru yang berlaku mulai 17 Oktober 2019 mensyaratkan calon pimpinan KPK agar berusia minimum 50 tahun untuk mengikuti proses pemilihan. Namun, salah satu pimpinan KPK 2019-2024 terpilih, Nurul Ghufron, masih berusia 45 tahun.

Regulasi soal usia pimpinan KPK tertuang dalam Pasal 29e, berbunyi "berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan. Anggota Panja Revisi UU KPK Masinton Pasaribu mengatakan, hal tersebut tidak masalah karena UU KPK baru tidak berlaku surut.

Baca Juga

Masinton berdalih, pemilihan komisioner KPK pada pertengahan 2019 lalu masih menggunakan UU KPK yang lama. Perkara ini, kata dia, serupa dengan soal Dewan Pengawas yang diamanatkan oleh UU baru, namun Dewan Pengawas belum terbentuk. 

"Tidak masalah, sama seperti di pasal 69d itu terkait dewan pengawas yang belum terbentuk, terkait tugas dan kewenangan penyidik KPK dalam melakukan penyidikan dan penyadapan itu menggunakan UU lama," ujar Masinton di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Rabu (16/10).

Perkara umur dalam UU KPK sempat dipermasalahkan. DPR mengirimkan UU KPK ke sekretariat presiden dalam keadaan saltik.

Di bagian usia pimpinan KPK, DPR menulis "50 (empat puluh)". Namun, frasa tersebut kemudian diperbaiki dan dipastikan usia minimum pimpinan KPK adalah 50 tahun. 

Revisi UU KPK bermasalah

photo
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Univ Andalas Feri Amsari (Republika/Prayogi)

Argumen Masinton soal umur tetap dipertanyakan. Direktur Eksekutif Pusat Studi Anti Korupsi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, perkara soal usia umur Nurul Ghufron menunjukkan revisi UU KPK tidak berkualitas dan bermasalah.

Seharusnya, pengaturan mengenai umur itu dimasukkan dalam ketentuan peralihan. Namun, dalam UU KPK yang disahkan, ketentuan peralihan tidak ditemukan sama sekali, atau tidak dibuat.

Feri menilai hal ini sebagai sebuah kelalaian DPR RI dalam menyusun UU. "Ini lah yang membuat revisi UU KPK itu tidak berkualitas dan bermasalah. Karena tidak ada ketentuan peralihan, ya, yang menyebabkan proses yang sudah dilakukan tidak dapat dilakukan," ujat Feri.

Pemberlakuan UU KPK terbaru itu pun dinilai akan merugikan Nurul Ghufron. Sebab, Ghufron  otomatis tidak memenuhi syarat sebagai pimpinan KPK.

Bahkan, bisa-bisa Ghufron dinyatakan tidak sah. "Orang yang tidak memenuhi syarat tidak bisa memenuhi jabatan itu. Ini kan menunjukkan revisi UU itu bermasalah. Tidak dibuat dengan benar," lanjut Feri. 

Secara teoritis, lanjut Feri, boleh saja Ghufron diseleksi dengan UU  yang sebelumnya. Namun, UU baru seharusnya memuat ketentuan peralihan yang membolehkan proses sebelumnya untuk dilakukan.

Dengan demikian, Ghufron tetap dianggap sah sebagai proses transisi. "Nah itu harusnya ada di UU peralihan, tapi itu tidak dibuat. Itu artinya pembuatan UU itu bermasalah, tidak detail dan tidak siap dengan proses peralihan yang ada," ujar Feri. 

Ia menambahkan bila Ghufron dipaksakan untuk diangkat maka akan konsekuensi atas putusannya akan timbul. Orang yang tidak memenuhi syarat tidak boleh menembuat keputusan.

Sebab, keputusannya akan dianggap sebagai keputusan yang cacat. "Nah itu konsekuensi kelemahan kalau pak gufron tetap diangkat. Karena bagaimana dia bisa dianggap sah kalau dia cacat administratif," ujar Feri menegaskan. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement